REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Fachry Ali berpendapat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri menghadapi tantangan untuk menjawab keinginan rakyat soal penghapusan dinasti politik. Caranya, dengan mengusung figur calon pemimpin dari partainya berdasarkan prestasi dan kecakapan, bukan keturunan darah.
"Jika Joko Widodo (Jokowi) jadi bakal calon presiden dari PDIP, dinasti politik bisa putus. Karena tidak ada keturunan dari Megawati dan Sukarno yang dicalonkan oleh partai," kata Fachry di Jakarta, Kamis (21/11).
Dinasti dalam konteks kaderisasi politik kerap dinilai sebagai penghargaan yang mengutamakan hubungan darah dan garis keturunan. Berseberangan dengan tradisi meritokrasi politik yang mengutamakan prestasi dan kecakapan. "Ini tantangan buat Megawati, tapi saya ragu Mega akan mengusung Jokowi," ujarnya.
Padahal ia menilai Jokowi identik dengan marhaenisme yang dikembangkan dari pemikiran Sukarno, ayah Megawati.Fachry menyebut Jokowi sebagai anugerah sekaligus dilema untuk PDIP. Karena menimbulkan wacana baru soal sosok capres dari partai tersebut. "Padahal ada anak Megawati (Puan Maharani) juga kan. Ya ini jadi pilihan untuk partai," ujar dia.
PDIP, kata Fachry, akan menghadapi pertaruhan besar jika tidak mencalonkan Jokowi. Karena suara dari pengurus di daerah sudah semakin menguat kepada pencalonan mantan wali kota Surakarta itu.
PDIP juga akan dianggap memberikan keuntungan besar kepada partai lain jika menunda pencalonan Jokowi hingga pemilu 2019. "Keuntungan terhadap partai-partai lain, siap-siap PDIP," ujar dia.
Petinggi partai menyatakan pendeklarasian bakal capres akan dilakukan setelah konsolidasi partai dianggap kuat.
Pada Rakernas partai September lalu, suara DPD PDIP menguat untuk pencalonan Jokowi. Selain sebagian yang mengusulkan Megawati dan Puan Maharani.
Beberapa hasil survei terkait pemilu 2014 pun mengemukakan popularitas dan elektabilitas Jokowi selalu meraih poin tertinggi dibandingkan tokoh internal partai maupun eksternal partai.