Senin 18 Nov 2013 17:10 WIB

UMK Purwakarta Rp 2,1 Juta

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Heri Ruslan
Menghitung gaji.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Menghitung gaji. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, akhirnya merekomendasikan besaran UMK 2014 Rp 2,1 juta.

Rekomendasi ini keluar, menyusul  buntunya pembahasan UMK di tingkat dewan pengupahan kabupaten. Rekomendasi ini, kemudian segera diusulkan ke Gubernur Jawa Barat.

"Karena sudah ada hasil, maka besaran UMK Purwakarta langsung diusulkan ke gubernur," ujar Dedi, Senin (18/11).

Dedi menyebutkan, rekomendasi ini dibuat setelah Depekab gagal membuat kesepakatan dalam penentuan upah. Berkali-kali Depekab rapat, namun hasilnya selalu berakhir buntu . Karena itu, akhir pekan kemarin, bupati langsung membuat keputusan soal UMK. Dengan cara seperti ini, polemik pembahasan UMK berakhir.

Akan tetapi, lanjut Dedi, tak menutup kemungkinan UMK sebesar Rp 2,1 juta ini berpotensi menimbulkan protes dari kalangan buruh. Sebab, jauh-jauh hari buruh yang tergabung dalam sejumlah serikat mengancam mogok daerah, jika UMK tak sesuai dengan keinginan mereka.

           

"Kalau buruh merasa tidak puas, dan kemudian menggelar unjuk rasa, ya, silahkan saja. Toh, unjuk rasa merupakan bagian dari dinamika. Harus kita hormati," ujar Dedi.

Terkait dengan UMK, Dedi menjelaskan, tahun ini upah tidak lagi dikelompokan seperti pada tahun sebelumnya. Tahun lalu, upah terdiri dari kategori UMK dan kelompok jenis usaha (KJU) dari KJU satu sampai empat.

Sedangkan UMK 2014, hanya satu bentuk. Yakni, seluruhnya harus menyesuaikan dengan besaran UMK Rp2,1 juta. Adapun pengelompokan kedalam KJU diserahkan sepenuhnya kepada bipartit (antara pengusaha dengan serikat pekerja).

           

Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Purwakarta, Agus Gunawan, mengaku dapat menerima UMK Rp 2,1 juta. Walaupun keinginan serikatnya besaran UMK itu Rp 2,2 juta. Hanya saja, dengan penyerahan KJU kepada bipartit bisa menyisakan persoalan. Sebab, tidak semua perusahaan memiliki serikat pekerja.

"Kami tetap mendesak bupati, supaya merekomendasi penentuan angka KJU di masing-masing perusahaan. Agar pengusaha tidak seenaknya menetapkan upah, terutama di perusahaan yang tak memiliki serikat," jelas Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement