Ahad 17 Nov 2013 02:57 WIB

Dilema Perkebunan Rakyat, Pupuk Mahal, Bibit Palsu Jadi Pilihan

Ketua DPD RI, Irman Gusman berbicara dengan petani perkebunan swadaya rakyat di Kabupaten Kampar, Riau, pada Jumat (15/11/2013)
Foto: DPD RI
Ketua DPD RI, Irman Gusman berbicara dengan petani perkebunan swadaya rakyat di Kabupaten Kampar, Riau, pada Jumat (15/11/2013)

REPUBLIKA.CO.ID, Saat Ketua DPD-RI, Irman Gusman bersama jajaran Dinas Perkebunan Riau berkunjung ke Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (15/111) pekan lalu untuk berdialog dengan petani perkebunan, Nasrul, termasuk dari puluhan petani lokal yang tertarik untuk datang.

Ia bukan sekadar ingin melihat pejabat publik. Dia mau curhat bahwa para petani, terutama karet dan sawit, sedang menghadapi masalah lebih dari 3 tahun, yaitu bibit palsu dan pupuk yang mahal.

Meski mengaku sudah tiga tahun menjadi petani karet, Nasrul bukanlah pemilik lahan seluas 1 hektar yang berada di desa Sungai Jalau. Dia adalah penggarap dari pemilik lahan. Hasil panen lantas dibagi dua antara pemilik dan dia.

"Saya garap sekotak (hektar) ada 150 pohon. Bibitnya palsu, cuma panen 5-7 kilo (getah karet) per-minggunya," kata Nasrul, sembari menjelaskan perlu waktu 2 tahun sejak mulai bibit ditanam hingga pohon karet bisa dipanen.

Nasrul mengaku membeli bibit di penghujung tahun 2010. Tergiur harga murah, yakni Rp. 2000 per-batang, Nasrul urung membeli bibit resmi dari Dinas Perkebunan, seharga Rp 5000.

"Kita beli di calo yang datang ke petani. Tidak ada uang kita untuk beli yang bagus, belum lagi pupuknya, cukup mahal," tutur Nasrul dengan logat Melayu.

Ratusan petani tak sabar bertanya, termasuk Nasrul. Sayang ia tidak mendapat kesempatan. Haidir, ketua kelompok petak tani Kampar Utara sempat melontarkan uneg-unegnya. Ia menyatakan total 600 hektar tanah perkebunan di Desa Sungai Jalau, 570 hektar dikelola oleh petani ekonomi lemah, dan bukan pemilik lahan.

Senada dengan Nasrul, keluhan Haidir adalah bibit palsu dan mahalnya pupuk. Untuk mendapat satu plastik pupuk berkualitas, harus metogoh kocek hingga Rp. 250 ribu. "Kapan kita dapatkan pupuk langsung, dinas (beri pupuk) hanya 10 persen dari total petani di Kampar. Kami petani belum bisa mandiri," lantang pria berkulit gelap itu.

Dalam pertemuan itu Kepala Dinas Perkebunan Riau, Zulher mengatakan jajarannya sudah berupaya semaksimal mungkin mendongkrak ekonomi petani. Salah satu upaya adalah, membantu petani miskin dengan menganggarkan dana bantuan Rp. 3 juta setiap hektar. Menurut dia  dana itu sudah cair dari Provinsi Riau dan sudah dialokasikan ke Bank Riau.

"Silahkan buat proposalnya, dan berikan pada Kecamatan. Tolong olah lahan kerja cepat. Jangan sampai dana cair, lahan tak ada," ujar Zulher.

Zulher dalam wawancara terpisah menjelaskan, laporan tentang bibit palsu sudah diketahuinya lebih 2 tahun lalu. Dia pun sedang mengupayakan untuk mengganti semua bibit palsu itu dengan berkualitas.

"Kami ingin mengontrol petani jangan beli yang palsu, sulit juga karena memang murah harganya meski hasilnya bisa mengecewakan" katanya. Ia mengatakan bila tidak diganti petani bisa merugi puluhan tahun karena hasil panen jauh dari harapan. Bibit palsu kelapa sawit dapat dibeli hanya dengan harga di bawah Rp 20 ribu, sedangkan bibit asli bisa mencapai Rp 40 ribu per batang.

"Mereka bilang hanya mampu membeli bibit yang palsu tadi karena harus menyiapkan dana untuk pupuk juga. Itulah mengapa kita harapkan kuota pupuk bersubsidi bertambah," imbuhnya. Hanya saja ia menuturkan hingga kini pagu anggaran pusat belum berubah. Dana 15 triliun untuk kementan hanya 1 triliun yang disalurkan di sektor perkebunan rakyat.

Saat ini, menurut data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, terdapat 420 hektar perkebunan karet dan 904 hektar perkebunan sawit milik rakyat di provinsi itu.  Karena itu ia mengharap DPD bisa membawa aspirasi rakyat agar pemerintah membantu petani perkebunan di daerah dengan APBN.

Ia menyatakan sebenarnya pada tahun 2012, Bappenas mengucurkan bantuan untuk mengganti seluruh bibit palsu, terutama di perkebunan sawit. Sayangnya tahun ini bantuan itu tak lagi dikucurkan. "Pemerintah menganggap perkebunan sawit sudah eksis sehingga tidak perlu dibantu, padahal tidak demikian, yang eksis itu perkebunan perusahaan dan plasma, sedangkan perkebunan swadaya masyarakat masih butuh bantuan untuk berkembang." ujarnya.

Dari segi hasil panen perkebunan swadaya masyarakat juga jauh bila dibanding perkebunan milik swasta dan plasma. Perkebunan sawit rakyat menghasilkan kurang dari 1 ton per hektar per bulan, sedangkan kebun perusahaan bisa mencapai 3 ton per hektar per bulan. Sementara karet, kebun petani rakyat menghasilkan 9-10 kilogram per hektar per bulan, sedangkan hasil sadapan kebun perusahaan dapat terkumpul 40 kilogram per hektar per bulan. Semua itu dengan catatan petani menggunakan bibit asli.

"Itu  belum termasuk masa tenggang ketika bibit pertama kali ditanam hingga panen pertama," ujarnya. "Warga membutuhkan bantuan untuk tanama sela yang menghasilkan secara ekonomi saat menunggu panen tiba, inilah pentingnya bantuan dari pusat." ujarnya.

Ketua DPD-RI, Irman Gusman menyatakan, siap memperjuangkan keluhan-keluhan petani untuk dibawa ke tingkat pusat. Salah satu upayanya adalah mengupayakan peningkatan subsidi sektor perkebunan.

"Pertanian hanya dapat subsidi Rp 16 triliun, sedangkan BBM Rp. 250 triliun. Sebenarnya duit (negara) cukup, tinggal alokasinya saja yang mesti dipindahkan," papar Irman. "Lagi pula subsidi BBM tidak langsung mengenai rakyat miskin, tapi kelas menengah," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement