Ahad 17 Nov 2013 04:01 WIB

Petani Kelapa Sawit: Revisi Permentan tak Jamin 20 Persen Plasma Rakyat

Seminar Hari Perkebunan k-56 di Hotel Arya Duta, Pekanbaru, Riau dengan pembicara utama Ketua DPD RI Irman Gusman (tengah berbaju batik merah)
Foto: DPD RI
Seminar Hari Perkebunan k-56 di Hotel Arya Duta, Pekanbaru, Riau dengan pembicara utama Ketua DPD RI Irman Gusman (tengah berbaju batik merah)

REPUBLIKA.CO.ID, PEKAN BARU -- Petani perkebunan kelapa sawit menilai pemerintah belum serius mendukung dan memihak mereka, melainkan lebih mementingkan pekebunan milik perusahaan swasta. Ungkapan itu terlontar  dalam Seminar Hari Perkebunan ke-56, Jumat (16/11) lalu di Pekan Baru, Riau.

Ketua I Bidang Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Bambang Sarjito di Pekan Baru Riau menuding upaya pemerintah dalam revisi Peratuan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dianggap tidak sungguh-sungguh terutama dalam memastikan perkebunan swasta menyediakan 20 persen lahan untuk plasma rakyat sebagai syarat perizinan

"Kenyataannya saat ini masih banyak perkebunan swasta yang tidak menyediakan lahan plasma untuk rakyat namun sudah beroperasi," kata Bambang di Hotel Aryaduta, Pekanbaru, Riau Jumat.

 Seminar itu menghadirkan Ketua DPD RI, Irman Gusman sebagai pembicara utama, juga Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, Gamal Nasir,  Komisi IV DPR RI, Wan Abubakar, staf ahli bidang penerapan nilai dasar koperasi dari Kementerian Koperasi dan UKM serta Bupati Rohil, Anas Maamun dengan moderator anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Riau Gafar Usman.

 

Menanggapi tudingan Bambang, Dirjen Perkebunan, Gamal Nasir membantah, "Permen direvisi hampir satu tahun untuk mengakomodasi petani. Pemerintah memfasilitasi lewat aturan bahwa setiap izin perusahaan perkebunan mensyaratkan minimal 20 persen lahan untuk plasma rakyat, 20 persen itu clear!" ujarnya.

"Kalau dalam praktiknya bupati mau 50 persen silahkan, kalau kurang dari 20 persen ya jangan, yang sudah jalan tapi belum menyediakan, bila perlu cabut izinya," ujar Gamal. "Jadi keliru itu anggapan tidak memihak," imbuhnya lagi.

Jawaban itu tak lantas memuaskan petani. Bambang menyayangkan Permen yang masih tahap memfasilitasi. "Tidak ada sanksi tegas untuk membuat jera perusahaan perkebunan yang melanggar. Kalau hanya memfasilitasi buat apa, yang kami minta itu ketegasan pemerintah, ada sanksi jelas." ujarnya.

Menyinggung pada sanksi, Dirjen merujuk pada era otonomi daerah dan menegaskan kepala daerah yang lebih proaktif. "Kita bagaimana mau menindak bila tak ada rekomendasi Bupati. Seharusnya bupati merekomendasikan bila memang tidak memenuhi persyaratan. Sekali lagi cabut izinnya!" ujar Dirjen.

Irman Gusman menyatakan DPD akan membawa aspirasi mengenai ketentuan plasma rakyat itu agar menjadi ketentuan yang lebih mengikat. "Permen itu memang tidak termasuk dalam peraturan perundangan di Indonesia," seraya mengacu hirarki yang dimulai dari UUD 1945, UU, hingga paling bawah pemda.

Saat ini DPD, menurut salah satu senator yang juga hadir dalam seminar tersebut, Intsiawati Ayus, sedang membahas aturan 20 persen kebun plasma dengan mitra DPR. "Saya yang menjadi penanggung jawab untuk topik ini, dan kami sedang membahas agar menjadi ketentuan dalam undang-undang yang berarti memiliki sanksi mengikat." ujarnya

Sorotan Revisi Permentan

Revisi Permentan 26/2007 ini mencuat sejak awal 2012 karena banyak polemik tentang kapan perusahaan perkebunan sawit melaksanakan pembangunan kebun plasma untuk masyarakat.

Selama ini memang tidak ada aturan batasannya kapan perkebunan swasta harus membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitarnya, sehingga perusahaan tak juga bisa disalahkan karena belum membangun perkebunan kelapa sawit. Selain itu aturan tidak menyebut jelas di mana letak atau lahan untuk kebun plasma apakah di dalam atau di luar HGU perusahaan.

Dalam Permentan No 26/2007 pasal 11 ayat 1 diatur pembangunan kebun plasma yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar perusahaan adalah kewajiban bagi perusahaan yang memiliki IUP atau IUP-B seluas sedikitnya 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan

Kemudian, Menteri Kehutanan juga sudah mengeluarkan keputusan Nomor P.17/Menhut-Ii/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-Ii/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, bahwa tidak akan memberikan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) kepada PBS yang tidak menyediakan plasma minimal 20 persen kepada masyarakat.

Sebelum Permentan No. 26/2007, pembangunan kebun plasma sebenarnya sudah diatur SK. Mentan No. 333/kpts/KB.50/6/1986 tentang tata cara elaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-Trans, sehingga pembangunan kebun plasma adalah wajib tanpa kecuali. Kewajiban itu kemudian ditegaskan kembali melalui Pasal 22 UU Perkebunan mengenai kemitraan usaha perkebunan.

Permasalahannya, menurut kajian aktivis perkebunan sawit, Andi Muttaqien banyak perusahaan yang tidak mau membangun kebun plasma untuk rakyat hingga mengakibatkan timbulnya kecemburuan warga sekitar.

Kajian yang diterbitkan oleh kerjasama empat LSM yakni Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) pada 4 Apri lalu juga menyebut perusahaan selalu berdalih penerapan ketentuan revisi permentan tidak retroaktif. Mereka juga berpandangan masyarakat tidak akan mampu melakukan mengelola kebun sawit dengan baik.

Alhasil pada awal pembangunan kebun, perusahaan tidak mengalokasikan lahan bagi plasma sebagai bentuk kemitraan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar perkebunan. Tak hanya itu, berdasar studi dalam kajian tersebut, banyak pembangunan kebun plasma ternyata dimiliki bukan warga sekitar perkebunan.

Masih menurut kajian yang menyoroti revisi Permentan no. 26/2007, kelemahan utama revisi ketentuan itu adalah ketiadaan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak membangun kebun plasma bersamaan dengan perkebunan inti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement