REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Perekonomian dunia yang belum pulih ditengarai masih memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi regional Provinsi Jawa Tengah (Jateng), hingga triwulan III tahun 2013 ini.
Data yang dirilis BPS menyebutkan pertumbuhan ekonomi regional ini masih mengalami pelambatan dari 6,1 persen (yoy) pada triwulan II menjadi 5,8 persen (yoy) pada triwulan III tahun 2013.
"Indikasi ini terlihat dari melemahnya ekspor luar negeri, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam triwulan III ini," kata Kepala Kantor Perwakilan bank Indonesia Wilayah V, Sutikno, di Semarang, kamis (14/11).
Menurut dia, pertumbuhan nilai ekspor di triwulan III melambat dari 16,10 persen (yoy) di triwulan II menjadi 9,70 persen (yoy).
Amerika Serikat, sebagai tujuan ekspor utama Jawa Tengah, permintaan barang dan jasanya melambat dari 17,04 persen (yoy) pada triwulan II 2013 menjadi 7,12 persen (yoy) pada triwulan III tahun 2013.
Meski demikian, di sisi penggunaan dan konsumsi --terutama rumah tangga dan pemerintah— justru bergerak menguat. "Konsumsi rumah tangga meningkat 5,3 persen (yoy), sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh 7,6 persen (yoy)," katanya menegaskan.
Ia juga menegaskan, kinerja konsumsi ini tergolong cukup impresif. Karena terjadi beriringan dengan tingginya inflasi pada triwulan ke-III ini.
Seperti diketahui, inflasi meningkat signifikan pada triwulan III, yaitu dari 5,44 persen (yoy) di triwulan II menjadi 7,72 persen (yoy) pada triwulan III.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi mendorong tingginya inflasi di triwulan tersebut. Kenaikan harga secara umum juga didorong oleh faktor musiman puasa dan perayaan Idul Fitri.
Selain itu, permasalahan pasokan pada beberapa produk hortikultura seperti bawang merah turut mewarnai tekanan inflasi tersebut. Namun, tekanan inflasi mereda dan kembali pada pola normalnya paska kenaikan harga BBM dan faktor musiman Lebaran.
Sutikno menambahkan, investasi juga tumbuh meningkat menjadi 8,7 persen (yoy), tidak hanya didukung investasi bangunan tetapi juga investasi non bangunan.
Di lain pihak, impor barang dan jasa yang melonjak tajam melampaui nilai ekspor memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah.
Indikasi masih lemahnya permintaan eksternal terlihat pada melambatnya pertumbuhan sektor Industri Pengolahan non-migas. Perlambatan juga terjadi pada sektor Perdagangan.
"Termasuk Hotel dan Restoran (PHR), meski sektor ini masih didorong oleh tingginya permintaan domestik," katanya menjelaskan.
Sementara pertumbuhan yang masih menjanjikan adalah sektor pertanian. Sektor ini tetap meningkat yang didorong meningkatnya luas panen walaupun ditengah kondisi cuaca yang tidak menentu.
Kondisi tersebut terlihat pada deflasi yang terjadi di bulan September 2013. Selain itu, tekanan inflasi dari faktor yang bersifat fundamental juga masih terkendali. "Ini tercermin pada inflasi inti yang masih berada di bawah level lima persen," katanya menegaskan.