Rabu 13 Nov 2013 13:36 WIB

Lawan Korupsi Adalah Fardhu Ain

 Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: dokpri
Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dahnil Anzar Sj*

Koruptor alias maling juga manusia. Maka mereka harus diperlakukan dengan manusiawi pula. Begitu pesan politikus cum “manusia bijak”. Apakah mereka sempat berpikir kemanusian ketika mengambil hak-hak publik?

Apakah anggota keluarga mereka sempat berpikir darimana asal usul uang yang selama ini mereka nikmati? Tidak sama sekali. Kemewahan yang tidak halal menutupi mata dan hati mereka. Ketika tertangkap, laku tidak bersalah jamak ditunjukkan, bahkan berusaha merebut hati publik dengan berbagai cara.

Ada yang melakukan tuduhan balik, seolah didzalimi, ada yang menggelar doa bersama mengharap dukungan dari publik, dengan menyatakan “bahwa tertangkapnya anggota keluarga mereka adalah musibah dan cobaan dari Allah Swt”, dan media serta pihak-pihak yang ikut mengungkap dugaan tindak pencurian uang rakyat yang mereka lakukan sebagai pihak yang tendensius, punya kepentingan politik untuk merebut kekuasaan. Deretan sulap kata pledoi untuk menarik simpati publik dilakukan terduga koruptor.

Perlawanan terhadap korupsi tidak boleh kendor hanya karena pledoi “memelas” para terduga koruptor. Publik harus terus ikut memberikan sanksi sosial yang seolah tiada ampun, memberikan hukuman sosial seberat-beratnya. Era keterbukaan media, memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan hukuman tiada ampun melalui media sosial baik dalam bentuk blog, micro blog, serta media-media lainnya seperti Koran, dan televisi. Hukuman sosial yang diperoleh dari publik tersebut akan melengkapi hukuman yang diperoleh oleh para maling tersebut ketika hukuman diputuskan oleh pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Gerakan-gerakan anti korupsi harus terus di duplikasi secara massif, semua elemen masyarakat sipil harus menjadi bagian dari gerakan anti korupsi, semua orang harus siap menjadi penggiat anti korupsi. Duplikasi gerakan anti korupsi penting, karena sesungguhnya, akar keterlambatan pembangunan Indonesia adalah korupsi, bukan yang lain.

Korupsi telah membuat perencanaan ekonomi yang kita buat tidak bisa berjalan dengan baik, selalu dihadapkan dengan kegagalan pada tingkat proses dan hasil. Korupsi pula yang membuat politik kita, dipenuhi dengan praktik tidak beradab, praktik politik yang abai kepentingan publik, politik yang sejatinya menjadi sarana memperbaiki peradaban justru merusak tatanan peradaban. Uang telah menjadi bagian terpenting dalam praktik politik kita, integritas dan kompetensi adalah “loak” yang terbuang.

Pembangunan pendidikan kita pun, disandera oleh praktik korupsi, besarnya anggaran disektor ini bukan justru memperbaiki akses dan kualitas pendidikan kita, justru memberikan mangkuk yang lebih besar buat pesta pora para maling dilingkungan pendidikan, para pendidik tidak malu lagi dengan “jubah” suci sebagai pendidik, ikut mencuri hak publik.

Agamawan kita pun ceramah tentang moral dan kejujuran, tetapi dibelakang podium mereka melahap uang haram korupsi, tengok saja kasus beberapa agamawan yang terlibat kasus korupsi.

Jadi, tidak ada sudut negeri ini yang bebas dari korupsi. Virus korupsi, sudah menjadi epidemic, yang merusak semua sendi-sendi peradaban kita.  Sehingga, adalah kesia-siaan bicara tentang perbaikan ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dan sebagainya , tanpa terlebih dahulu menuntaskan deretan permasalah korupsi di negeri ini.

Maka adalah fardhu ain bagi seluruh anak negeri ini untuk melawan dan ikut memberikan sanksi sosial bagi para koruptor. Tentu juga dengan memulai hidup “bersih” tanpa korupsi dimulai dari diri dan rumah kita.

*Penulis adalah pegiat Antikorupsi dan Pengajar Fakultas Ekonomi Univ. Sultan Ageng Tirtayasa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement