Selasa 12 Nov 2013 23:03 WIB

Densus Antikorupsi Perkuat Pemberantasan Korupsi

Tikus Liar (ilustrasi)
Tikus Liar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Wacana pembentukan Densus Antikorupsi memang masih menimbulkan pro dan kontra, ada pihak yang menilai lembaga di bawah Polri tersebut diperlukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi, tapi juga ada yang memandang mubazir.

Wakil Ketua Badan Legislasi MPR/DPR Ahmad Dimyati Natakusumah merupakan orang yang paling mendukung rencana pembentukan Densus Antikorupsi tersebut dan meminta agar Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal Pol Sutarman segera merealisasikannya.

"Saya sangat mendukung gagasan Kapolri untuk membentuk Densus Antikorupsi dan berharap agar segera direalisasikan. Keberadaan Densus ini nantinya akan memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya di Pandeglang, belum lama ini.

Untuk itu, ia mengharapkan agar Sutarman segera menyusun draf aturan dan tata kerja dari Densus Antikorupsi tersebut, sehingga diharapkan tahun depan sudah terbentuk.

Wakil Komisi III DPR RI itu juga menyatakan, pembentukan Densus Antikorupsi tidak akan menjadikan pemberantasan korupsi tumpang tindih dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak akan ada tumpang tindih, karena aturannya jelas. KPK menangani korupsi dengan nilai Rp1 miliar ke atas, sedangkan Densus Antikorupsi di bawah Rp1 miliar," katanya.

Dimyati juga menyatakan, korupsi sudah sangat parah terjadi di Indonesia, maka untuk memberantasnya perlu dilakukan secara "keroyokan".

"Tidak bisa kalau kita hanya mengandalkan KPK dengan segala keterbatasannya termasuk kurangnya personel, maka memang perlu ada institusi lain yang membantu," ujarnya.

Ia juga menyatakan, praktik korupsi yang saat ini sudah terungkap dan pelakunya ditangkap sangat sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah tindak kejahatan tersebut.

"Kalau menurut saya yang sudah terungkap dan pelakunya ditangkap tidak lebih dari lima persen, jadi masih sangat banyak yang harus ditangani," ujarnya.

Praktik korupsi, kata dia, dilakukan oleh tiga elemen, yakni pengusaha hitam yang selama ini bertindak seolah-olah sebagai "pejuang" atau tokoh dan berusaha memajukan masyarakat.

Kemudian, kata dia, korupsi juga dilakukan secara kerja sama di kalangan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif bahkan dilakukan secara kolaborasi oleh kedua lembaga tersebut.

"Ketiga korupsi justru dilakukan oleh oknum penegak hukum, dan paling berbahaya ketika penegak hukum ikut berkolaborasi dalam praktif KKN ini," ujarnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Sultan Agung Semarang Rahmat Bowo menilai pembentukan Densus Antikorupsi menjadikan Polri mengembalikan kepercayaan masyarakat.

"Tentunya, keberadaan Densus Antikorupsi nantinya disesuaikan sistem perundang-undangan. Kan sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga," katanya.

Menurut dia, perundang-undangan memang sudah memberikan kewenangan luar biasa bagi KPK untuk menangani dugaan korupsi di jajaran lembaga penegak hukum, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Ia menjelaskan bahwa Densus Antikorupsi mungkin saja dibentuk Polri, asalkan tidak memiliki kewenangan yang sama atau justru melebihi kewenangan-kewenangan yang telah diamanatkan perundang-undangan kepada KPK.

"Berikan kesempatan Densus Antikorupsi mengawasi, mengendus, melakukan langkah-langkah pendahuluan untuk membantu KPK, terutama di korpsnya dahulu. Akan tetapi, penyelidikan, penyidikan, dan sebagainya serahkan ke KPK," katanya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho menilai wacana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi oleh Kepolisian Republik Indonesia memiliki spirit yang bagus.

"Spiritnya bagus bahwa polisi punya kemauan untuk turut serta dalam pemberantasan korupsi karena KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sekarang pun sebetulnya kedodoran terhadap penanganan korupsi khususnya yang ada di daerah," katanya.

Ia mengatakan kasus korupsi di daerah agak sulit ditangani oleh penyidik-penyidik daerah.

Namun, kata dia, dari segi pragmatisnya, pembentukan Densus Antikorupsi agak berat karena polisi memiliki tugas yang cukup berat, karena tidak hanya menangani penegakan hukum.

Mubazir

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi sesuatu yang mubazir, karena upaya memberantas korupsi bukan dengan memperbanyak lembaga.

"Upaya pemberantasan korupsi itu sudah dilakukan KPK, sehingga wacana pembentukan Densus Anti-Korupsi itu mubazir," katanya.

Menurut dia, wacana pembentukan Densus itu masih harus dicermati betul, karena di Indonesia kerap pada tata kebijakan itu adalah ide bagus, namun penerapannya di lapangan tidak terlaksana.

Upaya keras yang dilakukan pihak KPK, diakuinya, belum sepenuhnya memuaskan. Karena selain keterbatasan personel, juga dari sisi anggaran juga cukup terbatas untuk melakukan amanah yang cukup berat tersebut.

Sebagai gambaran, kata dia, untuk mengawasi dan memberantas kasus korupsi yang terjadi pada 33 provinsi (kini 34 provinsi setelah terbentuk Provinsi Kalimantan Utara-Red) di Indonesia, hanya memiliki sekitar 600 - 700 orang personel dengan jumlah penyidik hanya sekitar 70 orang.

"Jumlah kasus yang masuk ke KPK saja ada 30 - 40 kasus per hari, sementara setelah ditelaah terdapat sekitar 10 persen yang memenuhi untuk ditindaklanjuti," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPK menggunakan skala prioritas dalam memberantas kasus-kasus korupsi.

Menurut dia, KPK hanya menangani kasus "grand corruption" (kasus korupsi besar) dengan dua indikator yakni pelakunya itu adalah penyelenggara negara atau penentu kebijakan. Sedang indikator lainnya, kasus itu harus signifikan.

"Karena itu untuk kasus korupsi di daerah, jika itu melibatkan gubernur, wali kota, ketua DPRD provinsi atau kabupaten/kota, barulah kita tangani. Sedang pada level bawahnya, diserahkan pada pihak kepolisian dan kejaksaan setempat," katanya.

Hukum tata negara Prof Dr Yusril Izha Mahendra menilai pembentukan satgas atau densus seperti ini hanya memperpanjang birokrasi dan menambah beban biaya negara, sedangkan hasilnya tetap akan sama dengan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak perlu lagi membentuk satgas yang lain, tapi yang penting semua institusi atau lembaga penegak supremasi hukum yang sudah ada dapat menjalankan fungsi tugas masing-masing sesuai kewenangannya," katanya.

Yusril mengatakan, KPK itu sendiri dibentuk dalam rangka memberikan penguatan serta mempercepat pengungkapan kasus-kasus dugaan korupsi.

Lembaga 'super body' ini juga diberikan kewenangan-kewenangan yang luar biasa besarnya oleh negara untuk melakukan penyadapan, penangkapan, penyelidikan serta penyidikan terhadap setiap pejabat yang terindikasi terlibat praktek korupsi.

Sehingga wacana membentuk densus atau satgas antikorupsi oleh calon Kapolri terpilih sebenarnya tak perlu dibentuk lagi.

"Selain menambah beban anggaran negara, bisa saja terjadi tumpang tindih dalam penaganan sebuah kasus dugaan korupsi," katanya.

Perlu waktu

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Hamidah Abdurrahman menyatakan, pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi membutuhkan watu yang lama, sebab akan menyangkut persoalan perubahan struktural dalam Kepolisian.

"Kalau saya mengatakan itu (Densus Antikorupsi) akan membutuhkan waktu yang sangat lama," katanya.

Menurut Hamidah, wacana pembentukan Densus Antikorupsi di tubuh Kepolisian itu lebih baik dialihkan untuk memperkuat Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sudah ada di Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

"Hanya perlu pengutan (Direktorat Tipikor) yang personelnya juga sudah ada di Mabes Polri," tuturnya.

Penguatan Direktorat Tipikor menurut dia antara lain dapat dilakukan dengan mengupayakan penguatan sumber daya manusia (SDM) yang sudah ada, penguatan anggaran operasional serta prasarana dan sarana yang dibutuhkan.

Dengan demikian upaya itu, menurut dia, lebih efektif daripada harus membentuk Densus Antikorupsi.

"Upaya penguatan internal Direktorat Tipikor menurut saya lebih memungkinkan Kepolisian bekerja secara optimal dalam upaya pemberantasan korupsi," ucap Hamidah.

Wacana pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi tersebut pertama kali diusulkan oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat kepada calon Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Sutarman saat uji kelayakan dan kepatutan pada Kamis (17/10).

Lembaga baru itu diharapkan bisa meningkatkan peran kepolisian untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. (Sambas)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement