REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Lembaga survei SETARA Institute mengeklaim Mahkamah Konstitusi (MK) pada masa kepemimpinan Akil Mochtar diwarnai kepentingan keputusan. Pola rekrutmen hakim dinilai sebagai cerminan suatu lembaga politik.
SETARA institute melangsungkan survei dengan melibatkan 200 ahli tata negara, menggunakan metode purposif purposive sampling. Peninjauan tersebut berlangsung sejak Juli 2013 dalam rangka memotret kinerja 10 tahun MK dari sudut pandang ahli tata, termasuk juga pegiat Hak Asasi Manusia
Peneliti SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan berdasarkan hasil survei, sebanyak 61,5 persen tanggapan menilai rekrutmen hakim, tidak tepat. Sebab, jalur penyeleksian yang diatur Pasal 24C ayat 3 UUD 1945 negara RI melalui DPR, lembaga kepresidenan dan MA, justru mencerminkan sikap politik.
“Dan terbukti saat era Akil Mochtar menjabat, 80 persen responden menjawab keputusannya berbau politik,” kata Ismail dalam konferensi pers hasil survei terhadap 200 Ahli Tata Negara tentang Kinerja MK RI, di Cikini, Jakarta, Senin (11/11).
Dia mengatakan, terlihat adanya penurunan kualitas sejak masa Jimly Asshiddiqie ke Mahfud MD dan lebih merosot lagi di kepemimpinan Akil Mochtar. Sebanyak 94,9 persen menyatakan kualitas putusan mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie akademis dan 89,7 persen menilai putusannya argumentatif.
Sedangkan, saat Mahfud MD memimpin, sebanyak 89,7 persen menilai putusannya progresif, dan 79,5 pesen menilai putusan Mahfud argumentatif. Di masa Akil Mochtar, penilaian argumentatif hanya 25,6 persen, akademis 15,4 persen, dan progresif 10,3 persen. “Jadi di saat Akil memimpin, hakim dinilai lebih dulu memikirkan keputusan ketimbang alasan atas keputusan yang akan diambil. Itu kebalikan dari Jimly dan Mahfud,” ujarnya.
Namun, sebanyak 82,1 persen responden yakin MK bisa memulihkan kepercayaan publik. Sebab sebagian besar para ahli menganggap MK telah menjalankan kewenangan dengan baik dalam pengujian UU. Hanya saja, saat penanganan perkara perselisihan pemilukada justru mengikis martabat lembaga konstitusi tersebut. “Bahkan MK dianggap sebagai tempat yang mampu memenangkan calon kepala daerah yang kalah pemilihan,” katanya.
Sebanyak 30,8 persen responden berpendapat agar perkara pilkada dikembalikan ke MA, sedangkan 69,2 persen lainnya mengusulkan agar dibentuk pengadilan khusus pemilu bersifat ad hoc seperti di sejumlah negara lain.
Adapun beberapa rekomendasi yang harus diambil MK berdasarkan survei tersebut antara lain, 59 persen mereka meminta MK melaporkan sumber kekayaan terbuka, 51,3 persen melanjutkan masa baktinya hingga tuntas. Dan hanya 5,1 persen yang mengharuskan para hakim mengundurkan diri. “MK juga bisa menambah satuan kerja khusus pengawasan internal dalam hal tata kelola kelembagaan,” katanya.