REPUBLIKA.CO.ID,Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
~ Chairil Anwar
10 November 1945, Kota Surabaya bergelimpangan mayat-mayat. Ribuan pejuang Indonesia dari total 20.000 tentara aktif dan 100.000 masyarakat sipil gugur dibombardir oleh sejumlah tank, pesawat tempur dan dan kapal perang Inggris dan Belanda yang tergabung dalam pasukan sekutu AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan NICA.
Peristiwa itu terjadi karena rakyat Surabaya menolak ultimatum Panglima AFNEI, Mayjen Eric Carden Robert Mansergh untuk menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan pada AFNEI dan NICA dengan membawa bendera putih sebagai tanda menyerah pada sekutu sebagai akibat tewasnya Brigjen Mallaby, Panglima AFNEI sebelum Mansergh.
Penolakan rakyat Surabaya dibalas oleh AFNEI dengan melancarkan serangan besaran-besaran ke berbagai bagian kota Surabaya. AFNEI dengan 30.000 serdadu dan 50 pesawat tempur, disamping tank, meriam kapal perang, dan tentara Belanda NICA yang membonceng AFNEI menembaki secara membabi-buta rakyat Indonesia dan menghujani Surabaya dengan bom-bom dari laut, udara dan darat. Belasan ribu penduduk tewas. Sekutu mengira, Surabaya akan jatuh dalam tempo 3 hari saja. Namun, para pejuang di Surabaya tidak gentar dan terus mengobarkan perlawanan dengan dukungan aktif dari masyarakat sipil Surabaya.
Para tokoh-tokoh masyarakat turut mengobarkan perlawanan terhadap AFNEI dan NICA. KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah dan kyai-kyai pondok pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum. Saat itu masyarakat lebih patuh kepada para kyai daripada pemerintah. Selain itu, muncul para pelopor muda seperti Bung Tomo yang mengelorakan "Maju terus pantang mundur, berjuang hingga tetes darah penghabisan”. Dukungan dari seluruh lapisan masyarakat itulah yang membuat perlawanan Surabaya bisa bertahan lama.
Perlawanan rakyat yang pada mulanya digerakkan secara spontan, sporadis, tak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran hebat di Surabaya berlangsung selama sebulan sebelum seluruh kota jatuh di tangan AFNEI. 6.000-16.000 rakyat Indonesia gugur dengan gagah berani dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sedangkan di pihak Sekutu, 600-2.000 serdadu Inggris, India dan Belanda tewas. Meski Surabaya jatuh ke Sekutu, namun peristiwa 10 November 1945 tersebut memberi semangat luar biasa kepada rakyat Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan kembali memperjuangkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan rakyat Indonesia membuahkan hasil. Pada tanggal 15 Agustus 1950 di hadapan sidang DPRS dan senat RIS di Jakarta, Presiden Soekarno mengumumkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Bung Karno berangkat ke Yogyakarta dan membubarkan Negara Republik Serikat.
Mempertahankan kedaulatan dan membangun NKRI tentu membutuhkan biaya. Maka pada tahun 1950 itu juga, terbitlah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Mengadakan Pajak Peredaran yang setahun kemudian diganti dengan Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951. Pajak-pajak itu adalah tulang punggung untuk mempertahankan kedaulatan dan membangun NKRI.
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan masyarakat Indonesia, tentunya peraturan perundang-undangan perpajakan terus berkembang dan disempurnakan terus. Namun peran vital pajak sebagai alat bela dan membangun negara tetap yang utama. Oleh karena itu, jika kita benar-benar mencintai, menghargai dan ingin meneruskan perjuangan para Founding Fathers kita, maka mari taatlah bayar Pajak kita demi Bangsa dan Negara, Indonesia Jaya!