REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah membatasi perizinan kelapa sawit yang dibatasi maksimal 100 ribu hektare. Menurut Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, pembatasan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 98/ 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Ketentuan tersebut juga berlaku, jika perusahaan tersebut mengajukan izin menambah lahan kelapa sawit memakai nama anak perusahaan. Aturan ini dibuat, agar Indonesia bisa menahan lahan tidak tergerus oleh kelapa sawit.
"Selain itu ada azas keadilan di sana,jangan hanya satu dua perusahaan yang menguasai kebun kelapa sawit yang begitu luas," ujar Rusman kepada wartawan, Kamis (7/11).
Menurut Rusman, perusahaan yang kapasitasnya sudah di atas 100 ribu hektare dan memiliki kemampuan modal diminta untuk melakukan diversifikasi usaha. Mereka, bisa mengembangkan komoditas usaha tebu dan kakao.
Jadi, pengusaha perkebunan jangan melihat dari persfektif ekonomi saja. Kalau sudah 100 ribu hektare, akan ditawarkan ke tempat lain.
Selain itu, ia mengatakan, perusahaan-perusahaan besar yang sudah memiliki lahan di atas 500.000 hektar pun dipastikan tidak akan lagi diberi izin untuk menambah lahan.
Termasuk, anak perusahaannya. Pemerintah pusat, berharap pemerintah daerah berhati-hati memberikan izin pada perusahaan yang menutupi kapasitas lahan yang sudah dimilikinya. "Jangan karena kepentingan sesaat izin dikeluarkan, nanti dampaknya berlarut-larut," katanya.
Dikatakan Rusman, terkait Permentan 98/2013 ini, Kementerian Pertanian (Kementan) sudah menyiapkan perangkat pengawasan dan sanksi bagi perusahaan yang mengakali perizinan. Pemda yang memberikan izin, akan mendapat teguran dan sanksi bertahap dari Kementerian Dalam Negeri.
Rusmawan juga memastikan, aturan ini akan menguntungkan bagi para petani plasma. Karena dalam perizinan tersebut perusahaan diminta menyediakan lahan 20 persen untuk para petani plasma. Jika selama waktu 3 tahun ketentuan ini tidak terealisir maka izinnya bisa ditinjau kembali.
"Dulu kebun intinya dibangun duluan,setelah profit lupa mereka soal kebun plasmanya. Sekarang sudah syarat,harus dibangun bersamaan," katanya.
Sementara menurut Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsjad, Permen ini sebenarnya multitafsir. Sebab, pengusaha diharuskan menjual saham ke petani. Yang menjadi pertanyaan, apakah petani bisa beli saham.
Lalu, kalau ternyata petani tak bisa membeli saham padahal perusahaan sudah menjual, akan ada sanksi atau tidak untuk petani. "Itu tak ada di aturan tersebut. Jadi, perlu petunjuk operasional. Tapi, pemerintah bilang nanti dibicarakan bersama. Lemah, Permen itu multi tafsir," katanya.
Sebenarnya, kata Asmar, mayoritas petani tak mampu membeli saham. Untuk membeli pupuk saja sulit, apalagi membeli saham. Namun, perusahaan tanpa kebun akan membantu petani dalam bentuk penanaman uang.
Petani sawit, ia menambahkan, rata-rata memiliki lahan seluas 2, 5, 10, sampai 15 hektare. Tapi, mayoritas lahan yang dimiliki masyarakat luasnya 2 hektare ke bawah yakni hampir 80 persen.
Total luas lahan milik rakyat, 3,8 juta hektare atau sekitar 42 persen dari lahan sawit yang ada di Indonesia yang luasnya mencapai 9,2 juta haktare.
"Dari 9,2 juta hektare itu, milik rakyat kan 3,8 juta hektare, PTP Perkebunan 700 ribu ha dan sisanya, swasta nasional dan asing," katanya.
Menurut Asmar, kendala yang dihadapi oleh petani adalah mayoritas lahannya belum memiliki sertifikat. Jadi, tak bank cable. Petani, bahkan sulit untuk melakukan peremahaan lahan tersebut.
Ini, harus diperjuakankan. Sawit yang dihasilkan petani sendiri, rata-rata sekitar 2 ton perbulan dengan harga Rp 1.000 per kg sawitnya.
"Permentan yang baru ini, harus di sosialisasikan ke semua daerah. Karena setiap provinsi berbeda masalah yang dihadapinya," katanya.