Selasa 05 Nov 2013 11:45 WIB

Istilah Pahlawan Devisa Dinilai Tak Tepat

Sebanyak 110 tenaga kerja Indonesia (TKI) bersiap untuk diberangkatkan ke Korea Selatan, Ciracas, Jakarta, Senin (7/5). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Sebanyak 110 tenaga kerja Indonesia (TKI) bersiap untuk diberangkatkan ke Korea Selatan, Ciracas, Jakarta, Senin (7/5). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Dewan Harian Daerah Angkatan 1945 Provinsi Bali I Wayan Windia menilai penggunaan istilah pahlawan devisa bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri tidak tepat.

"Mereka (TKI) bekerja di luar negeri itu sebenarnya untuk kepentingan pribadi guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan yang bersangkutan beserta keluarganya, tidak ada unsur membela kepentingan negara," ujar guru besar Universitas Udayana Denpasar itu, Selasa (5/10).

Ia mengemukakan bahwa seorang pahlawan dulu diukur dengan aktivitasnya melawan penjajahan. Namun sekarang devinisi pahlawan itu adalah orang-orang yang berbuat untuk kepentingan bangsa dan negara di luar batas-batas kepentingan pribadinya.

"Mereka berjuang mengorbankan jiwa dan raganya tanpa mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya," kata penggagas pembentukan Gerakan Nasional Pembudayaan Pancasila (GNPP) yang dideklarasikan Ketua Umum DHN Angkatan 45 Jeneral TNI (Purn) Tyasno Sudarto di Bali pertengahan Agustus lalu.

Oleh sebab itu, dua menilai sekarang sangat sulit mencari seseorang yang memenuhi kreteria seorang pahlawan sejati yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa dan negara.

"Sekarang yang terjadi justru sebaliknya mengkhianati bangsa dan negara Indonesia dengan cara melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi, golongan dan partai," kata mantan anggota DPR itu.

Dengan demikian dia menyimpulkan bahwa kepentingan bangsa dan negara di atas semua golongan sekarang terbalik 100 persen. Bahkan Pancasila pusaka yang paling tinggi diwariskan para pahlawan kemerdekaan mulai dikianati.

Hal itu terbuktinya terjadinya friksi-friksi, konflik antar-ras, dan tidak ada lagi rasa kesetiakawanan. Padahal dulu pada zaman penjajahan rasa kesetiakawanan itu sangat kental.

"Orang Bali banyak ke Jawa dan sebaliknya bertempur melawan penjajah dengan mengorbankan jiwa dan raganya tanpa memedulikan kepentingan keluarga," kata Prof Windia.

sumber : Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement