Ahad 03 Nov 2013 19:22 WIB

Topeng Monyet Jakarta Eksodus ke Salatiga

Rep: S Bowo Pribadi/ Red: Djibril Muhammad
 Seekor monyet yang terjaring dalam razia topeng monyet oleh Satpol PP di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Selasa (22/10).  (Republika/Rakhmawaty la'lang)
Seekor monyet yang terjaring dalam razia topeng monyet oleh Satpol PP di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Selasa (22/10). (Republika/Rakhmawaty la'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA — Dampak larangan atraksi topeng monyet yang akan diterapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta --mulai tahun depan-- sudah terasa di daerah.

 

Para 'pengamen' topeng monyet mulai melakukan eksodus  mencari peruntungan di daerah, di luar ibu kota negara. Tak terkecuali di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.

 

Dalam sepekan terakhir, pengamen topeng monyet ini jamak ditemui di perempatan lampu merah, yang ada Kota Salatiga.

Salah satunya Panji (20), pria asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang ditemui di perempatan lampu merah Jalan

Diponegoro, Kota Salatiga.

 

Ia mengaku memilih eksodus ke Kota Salatiga dengan seorang rekan sekampungnya, sesama pengamen atraksi topeng monyet.

 

Keputusan meninggalkan hirukpikuk ibu kota dipilih setelah kenyamanannya mengais rejeki sudah semakin terusik, oleh kebijakan Gubernur Jokowi.

 

"Kota Salatiga kami pilih karena di daerah ini tidak ada larangan bagi atraksi topeng monyet jalanan," ujar Panji, Ahad (3/11).

 

Sejak Jokowi menyosialisasikan Jakarta bebas topeng monyet pada 2014, Panji mengaku sudah pernah mendapatkan peringatan.

 

Bagi pria yang mengaku sudah delapan tahun menggeluti atraksi topeng monyet ini, kebijakan tersebut menjadi ancaman bagi keberlangsungan nafkahnya.

 

"Siapa sih yang mau bertahan, kalau mencari nafkah harus bermain 'pitak umpet' dengan petugas penegak ketertiban," katanya menambahkan.

 

Ujang (32), mengamini rekannya, sesama pengamen topeng monyet tersebut. Baginya, bertahan di Jakarta sangat tidak mungkin.

 

Selama di Jakarta, ia menjelaskan, atraksi topeng monyet menjadi salah satu andalan penghidupannya. Ia  mengaku mampu mengais penghasilan Rp 50 hingga Rp 75 ribu per hari.

 

Bapak dua anak ini juga mengakui selama di Kota Salatiga belum dapat memastikan berapa penghasilan per harinya. "Karena terhitung baru empat hari ini di Salatiga," katanya menjelaskan.

 

Pengamaat Sosial Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Sri Suwartiningsih berpendapat, kemungkinan para pengamen topeng monyet melakukan eksodus --untuk mencari lahan baru-- sangat terbuka.

 

Menurut dia, ini hampir mirip dengan profesi yang selama ini sudah dianggap para pemangku kebijakan sebagai patologi sosial.

 

Biasanya para pelakunya akan memilih tempat yang baru ketika pemerintah hanya sekadar melarang tapi tak mampu memberikan solusi.

 

Para pengamen topeng monyet ini, jelasnya, sangat dimungkinkan mencari daerah baru karena ini sudah menjadi profesi mereka.

 

Pemprov DKI Jakarta boleh memberi solusi membeli monyet- monyet mereka untuk diberdayakan di taman margasatwa Ragunan.

 

"Tapi bagaimana dengan para pengamennya, apakah pemerintah bisa memberikan pekerjaan baru bagi mereka," katanya menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement