REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Penyadapan oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia membuktikan pemerintah lengah dan tidak fokus mengurus kepentingan negara dan keamanan nasional.
"Kalau pemerintah mau belajar dari kasus Wikileaks, penyadapan oleh pihak mana pun mestinya sudah bisa direduksi, atau bahkan ditangkal," kata anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo di Jakarta, Ahad (3/11).
Informasi yang muncul menjelang akhir 2010 menyebutkan, Wikileaks memiliki tidak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik pemerintah AS yang mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu adalah laporan diplomatik yang dikirim Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya.
Karenanya, ujar dia, sangat mengherankan ketika sejumlah pejabat pemerintah terkejut, marah dan tidak senang dengan informasi mengenai penyadapan oleh Australia dan AS.
"Sebagian publik di dalam negeri justru terkejut dengan reaksi yang demikian. Pertanyaannya kemudian, pura-pura terkejut dan marah atau basa-basi sekadar diplomasi? Biasanya, dalam situasi seperti itu, kepura-puraan diperlukan untuk menutup malu karena sudah kecolongan," katanya.
Kecolongan melalui modus penyadapan oleh AS dan Australia bisa terjadi karena pemerintahan yang berkuasa tidak pernah fokus menjaga kepentingan negara yang layak dirahasiakan. Termasuk pembicaraan atau komunikasi presiden dan pejabat tinggi lainnya. "Semuanya sibuk mengurus kepentingan masing-masing," kata politisi Golkar itu.
Pemanfaatan teknologi penyadapan yang dibeli dan didatangkan ke Indonesia tidak diprioritaskan untuk melindungi negara dengan segala kerahasiaannya.
"Pemerintah sibuk menyadap kegiatan atau aktivitas lawan politik. Ketika Lemsaneg harus berkonsentrasi penuh mengamati perkembangan dan segala sesuatu yang terjadi dalam perang teknologi masa kini, organ negara yang satu ini malah disuruh sibuk bekerja untuk kepentingan pemilu. Ini bukti pemerintahan yang berkuasa tidak fokus pada aspek pertahanan nasional," tuturnya.