Ahad 03 Nov 2013 10:56 WIB

'Restrukturisasi di Ditjen Pemasyarakatan Suata Keharusan'

Wartawan Senior Republika M Subarkah (Kanan) dan anggota DPR FPDIP Eva Kusuma Sundari (kiri) dalam diskusi evaluasi haji di DPR, Kamis (8/11)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Wartawan Senior Republika M Subarkah (Kanan) dan anggota DPR FPDIP Eva Kusuma Sundari (kiri) dalam diskusi evaluasi haji di DPR, Kamis (8/11)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI Eva Kusuma Sundari berpendapat restrukturisasi organisasi di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkum HAM suatu keharusan mengingat hingga Ahad persoalan over-kapasitas di lembaga pemasyaratan belum terselesaikan.

"Meski sudah jadi keprihatinan lama, bahkan sudah ada cetak biru 'Prisoners Reform' (reformasi lapas), perbaikan radikal akan sulit diwujudkan sepanjang masalah struktural terkait dengan organisasi tidak dibongkar," katanya kepada Antara, Ahad (3/11).

Menurut dia, pembangunan lapas-lapas baru di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) terhambat karena adanya keterpisahan antara otoritas teknis (di Sekretariat Jenderal) dan otoritas fungsional (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).

Hambatan birokratis itu, kata Eva, sepatutnya tidak terjadi jika dikembalikan pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Sekretariat Jenderal Kemenkum HAM sebagai 'supporting system' (sistem pendukung).

Akan tetapi, ia melanjutkan, tentu hukum alam berlaku, yang mempunyai tupoksi mengontrol anggaran yang lebih punya 'power' sehingga 'list' (daftar) kebutuhan dari bagian fungsional tidak selalu dimuluskan.

Tak pelak, prinsip pengalokasian anggaran yang seharusnya berdasarkan pada fungsi masing-masing unit/ satuan kerja sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang (money follows the function) gagal diwujudkan.

Dengan problem organisasi tersebut, menurut Eva, bisa dikatakan sebagai 'bottleneck' (kemacetan) pelaksanaan 'blue print' yang berujung pada situasi memburuk ketika 'supply' tidak mampu merespons 'demand' terhadap tersedianya lapas-lapas baru.

Ibaratnya, napi bertumbuh seperti deret ukur, sedangkan lapasnya mengikuti deret hitung. "Hal itu butuh penyelesaian politik yang wewenangnya hanya pada menteri. Artinya, hanya Menteri Hukum dan HAM yang bisa menyelesaikannya," ucapnya.

Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu berharap Komisi III DPR RI yang sudah mendorong tambahan Rp1 triliun untuk pembangunan lapas baru paham bahwa penggunaan uang tersebut harus merujuk pada "blue print" yang ada.

"Pengawasan Komisi III DPR RI harus ke arah tersebut," kata calon anggota DPR RI periode 2014--2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Tulungagung).

Di lain pihak, Eva berpendapat salah satu penyebab overkapasitas di lembaga-lembaga pemasyarakatan adalah terkait dengan sistem hukum RI yang tidak mengakomodasi pendekatan non-corporal punishment (nonhukuman badan).

"Artinya, kejahatan-kejahatan minor (pencurian, perkelahian, penipuan), termasuk yang dilakukan oleh anak-anak, diperlakukan sama seperti kejahatan major (pembunuhan, korupsi, teroris, perampokan), yakni dihukum penjara badan. Perlakuan seperti itu justru menambah jumlah penghuni lapas hingga overkapasitas. Penambahan napi ini seperti deret ukur," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement