Rabu 30 Oct 2013 13:19 WIB

Kwitang, Majelis Taklim dan Nyai Dasima

Abah Alwi
Foto: Republika
Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alwi Shahab

Mendatangi Kampung Kwitang yang berdekatan dengan Pasar Senen, Jakarta Pusat, saya hampir tidak menemui lagi kawan-kawan sejak kecil. Sebagian besar sudah pindah ke daerah-daerah pinggiran atau meninggal dunia. Di tepi sungai, rumah-rumah saling berimpitan, hampir tidak ada pekarangan untuk anak-anak bermain.

Padahal, pada masa pengusasa Inggris, Thomas Standford Raffles pada 1820-an, Kwitang masih merupakan “setemgah hutan” belantara yang belum banyak penghuninya. Di kampung ini pernah terjalin cerita Nyai Dasima di masa pemerintahan Raffles. Ini adalah kisah menyedihkan seorang Nyai dari desa Kuripan, di Ciseeng, Kabupaten Bogor. Nyai yang bahenol ini mati dibunuh Bang Puase, jagoan Kwitang, atas suruhan Hayati karena suaminya Samiun tergila-gila kepadanya dan mengawininya sebagai istri kedua. Hayati kelewat cemburu pada “madunya”.

Sejumlah orang ternama pernah tinggal di kampung ini.  Mulai dari ulama, politikus, seniman, wartawan, budayawan, sampai jago-jago sillat kenamaan. Mr Mohamad Roem, bekas menteri Dalam Negeri dan tokoh Masyumi, saat pecah revolusi fisik melawan Belanda (NICA) tangan kanannya tertembak ketika bergerilya di Kwitang.

Mantan menteri Agama almarhum Tarmizi Taher, ketika tinggal di Kwitang adalah teman main bola saya. Wagub DKI Eddy Marzuki Nalapraya, sutradara film Arifin C Noor, mantan dubes RI di Australia, seniman dan budayawan almarhum SM Ardan, pengarang dan penerjun bebas Trisnoyuwono, juga pernaih tinggal di Kwitang.

Di kampung ini, masih kita jumpai bekas kediaman almarhum seniman legendaris Ismail Marzuki yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Hingga kini, rumah tempat ia dibesarkan masih kita dapati di Kwitang. Rumah bersejarah ini sekarang ditempati seorang Tionghoa. Letaknya tidak berjauhan dengan Majelis Taklim Kwitang.

Ibu saya pernah bercerita dia sering mendengar Bang Mail, panggilan Ismail Marzuki, bermain musik dirumah tersebut. Barangkali, perlu perhatian Pemda DKI agar bangunan bekas rumah ketika Ismail Marzuki semasa kecil ini dilestarikan.  

Di Kwitang, merupakan tempat para seniman dan budayawan Senen acap kali ngumpul di warung kopi Bang Amat yang kini sudah berubah menjadi rumah tinggal. Seingat saya, budayawan Ayip Rosidi sering muncul di tempat ini. Demikian juga dengan almarhum sutradara Misbah Yusa Biran. Produser film nasional Djamaluddin Malik yang pernah dikenakan tahanan rumah pada masa Bung Karno juga tinggal di kediaman adiknya di Kwitang. Tempat ini sekarang menjadi bagian dari Majelis Taklim Kwitang, setelah pengajian ini diperluas.

Kala itu, untunk bolak-balik antara Kwitang dan Kalipasir bisa melalui deretan sungai Ciliwung dengan bayaran setengah perak (50 sen). Lebar Ciliwung, kala itu dua kali dari lebar sekarang.

Kita bisa leluasa berenang di Ciliuwung yang airnya masih dalam dan tidak sekotor sekarang tanpa khawatir gatal-gatal. Ketika itu, terdapat trem listrik yang menghubungkan Menteng-Kramat lewat Kalipasir. Saat mandi di Ciliwung, kami sering naik ke atas jembatan yang dilalui trem listrik dan kemudian melompat ke sungai dari ketinggian sekitar lima meter sambil tertawa-tawa.

 

Di tepi sungai dekat jembatan trem terdapat pangkalan bahan bangunan milik Babah Hidup. Nama sebenarnya Pheng Tjeng Yam. Orang Tionghoa kala itu memberi nama poyokan kepada putranya. Seperti, si Picis, si Gobang, dan si Talen, setelah terlebih dulu meminta restu dari klenteng. Toko bahan bangunan inilah yang menyuplai bangunan pintu gerbang untuk Pasar Gambir. Tiap tahun, ia membuat gerbang dari berbagai bentuk khas nusantara.

Sampai saat ini, di Kwitang masih terdapat Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi yang telah berusia hampir satu abad. Habib Ali lahir 20 Jumadil Awal 1286 H bertepatan dengan 20 April 1870. Majelis taklim yang berlangsung pada Ahad pagi dihadiri puluhan ribu jamaah dari berbagai tempat di Jabotabek. Pada 1930 di Kwitang ulama ini mendirikan sekolah Unwatul Falah di belakang masjid Kwitang. Perguruan Islam modern ini tutup pada masa pendudukan Jepang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement