Ahad 27 Oct 2013 15:52 WIB

Nelayan Pantura Akan Gugat Permen SPKP ke MA

Rep: Lilis Handayani/ Red: Djibril Muhammad
Seorang nelayan mengangkat jaring udang rebon di wilayah pesisir pantai Jakarta Utara, Selasa (8/10). (Republika/Prayogi)
Seorang nelayan mengangkat jaring udang rebon di wilayah pesisir pantai Jakarta Utara, Selasa (8/10). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Para nelayan di sejumlah daerah pantura di Jabar dan Jateng menolak dengan tegas adanya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan no 10 Tahun 2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP). Mereka pun akan menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

 

"Permen ini cacat hukum karena beberapa pasal di dalamnya saling kontradiktif," kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat, Ono Surono, Ahad (27/10).

 

Ono mencontohkan, pada pasal lima dalam permen tersebut, disebutkan bahwa tugas Dirjen Pengawasan PSDKP adalah menyediakan SPKP.

Itu berarti, sarana dan prasarana tersebut merupakan tanggungjawab Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

 

Namun, dalam pasal 15, disebutkan bahwa pemilik kapal harus melampirkan fotokopi bukti pembayaran airtime fee SPKP online selama 1 (satu) tahun untuk memperoleh bukti SKAT.

SKAT merupakan bukti bahwa kapal perikanan telah mengaktifkan transmiter SPKP online saat beroperasi di WPP-NRI atau di laut lepas.

Selain itu, Ono menerangkan, dalam pasal 20 tentang hak dan kewajiban, tidak dijelaskan mengenai kewajibkan pembayaran transmiter SPKP oleh pengguna (pemilik kapal). Itu berarti, antara pasal yang satu dengan yang lain saling bertentangan.

Ono menambahkan, nelayan yang sudah menyatakan penolakannya terhadap kewajiban pemasangan SPKP online atau yang disebut juga dengan alat Vessel Monitoring System (VMS), di antaranya nelayan pantura Jawa Barat seperti Indramayu dan Cirebon.

Selain itu, nelayan dari pantura Jawa Tengah seperti Tegal, Pekalongan, Rembang dan Pati. 

Terpisah, salah seorang pemilik kapal berukuran di atas 30 GT, Robani Hendra Permana, mengaku sangat keberatan dengan adanya kewajiban pemasangan alat VMS. Pasalnya, yang memiliki kepentingan terhadap pemasangan alat tersebut adalah pemerintah, bukan nelayan.

 

"Karena yang butuh adalah pemerintah, jadi seharusnya pemerintah yang menyediakan alat VMS," kata Robani menegaskan.

 

Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, menyatakan, pemerintah hendaknya membuat peraturan berdasarkan kebutuhan nelayan. Dia mengungkapkan, pemerintah tidak semestinya membuat peraturan untuk kepentingan elite-elite pemerintah yang ujung-ujungnya mengorbankan nelayan.

 

"Kami akan kumpulkan seluruh serikat nelayan untuk menolak sistem pemantauan kapal ini," kata Kajidin menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement