Ahad 27 Oct 2013 11:15 WIB

Revitalisasi Pelabuhan Ciptakan Daya Saing Ekonomi

Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

 

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu masalah perekonomian Indonesia yang tengah mencuat adalah buruknya tata kelola pelabuhan. Hal itu jelas mengecewakan. Pasalnya, sebagai pintu masuk transaksi barang antarpulau dan antarnegara, pelabuhan harusnya bisa mendukung aktivitas kelancaran sistem ekonomi suatu daerah. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya.

 

Salah satu persoalan mendasar yang mudah dijumpai di pelabuhan adalah waktu tunggu bongkar muat barang (dwelling time). Selain Tanjung Priok di Jakarta, kasus yang mendapat sorotan adalah di Tanjung Perak, Surabaya. Harus diakui, pelabuhan terbesar kedua di Indonesia tersebut sudah sangat tidak memadai.

 

Hasil laporan Ketua Ombudsman Republik Indonesia Danang Girindrawardana dan Ketua DPN Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro belum lama ini bisa menjadi acuannya. Keduanya menghelat dialog dengan sejumlah asosiasi dan pengusaha sehubungan banyaknya laporan dwelling time di Tanjung Perak.

 

Hasil audiensi didapat kesimpulan, Terminal Petikemas Surabaya sudah jauh dari kata ideal. Entah karena adanya kesalahan administrasi, keterbatasan fasilitas dan tumpang tindih pengelolaan, hingga membuat arus keluar masuk barang menjadi tidak lancar. Hal itu jelas menghambat terciptanya alur distribusi yang sanga tepat waktu dan murah.

 

Diperkirakan, setiap harinya terdapat 330 boks kontainer yang, dan yang bisa ditangani hanya sekitar 190 boks. Dampak fakta itu menyebabkan produksi perusahaan terganggu dan pekerja harus menganggur sementara akibat menunggu bahan baku. Namun, di sisi lain pengusaha atau perusahaan tetap wajib menanggung biaya operasional yang terus berjalan.

 

Bayangkan saja, dengan menumpuknya sisa kontainer yang belum diperiksa hingga harus tertahan di pelabuhan, membuat waktu pengeluaran kontainer menjadi semakin mundur. Apalagi, kata Humas PT Pelindo III Edi Priyanto, selama lima tahun terakhir, pertumbuhan arus petikemas melalui wilayah kerja perusahaannya terus mengalami peningkatan.

 

Pada tahun 2008 dan 2009 masih tercatat 2,9 juta Teus, tahun 2010 meningkat menjadi 3,2 juta Teus, dan meningkat lagi 3,5 juta Teus tahun 2011. “Pada 2012 menjadi 3,9 juta Teus,” kata Edi. Kalau diakumulasikan, dari hari ke hari terjadinya dwelling time semakin mengkhawatirkan. Muara dari semua itu adalah pada meningkatnya biaya transportasi dan logistik.

 

Mengatasi inefisiensi

Sebagai negara maritim, kita tentu miris menghadapi kenyataan itu. Pelabuhan yang seharusnya digadang-gadang sentra ekonomi daerah malah menjadi tempat yang paling dikeluhkan pemangku kepentingan. Masalah yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Perak sudah seharusnya menjadi perhatian PT Pelabuhan Indonesi (Pelindo) III.

 

Kegiatan ekspor dan impor maupun domestik sudah sangat terganggu dengan persoalan itu. Belum lagi jika kita membicarakan masalah lain yang terjadi tidak hanya di darat. Selain masalah waktu tunggu pemeriksaan kontainer, rentetan dampak negatif juga membuat waktu tunggu kapal semakin bertambah.

 

Kita lihat saja saat ini, pertumbuhan arus pertumbuhan distribusi barang tidak diimbangi dengan kenaikan luas daya tampung dalam pemeriksaan kontainer. Kondisi itu jelas semakin bertentangan dengan upaya pemerintah untuk memangkas segala hambatan yang memunculkan high cost economy.

 

Sudah jamak terjadi, pemangku kepentingan selalu telat mengantisipasi kenaikan volume barang. Ketika proses bongkar muat barang sampai pada titik jenuh, baru mereka tersadarkan untuk merevitalisasi keadaan pelabuhan. Hal itu jelas menimbulkan kerugian yang tidak sedikit sebagai beban ekonomi yang menciptakan inefisiensi perputaran roda perekonomian.

 

Menjadikan pelabuhan sebagai sentra ekonomi jelas bukan sebuah impian kosong. Hal itu bisa diwujudkan dan malah dijadikan pendorong untuk menggeliatkan roda ekonomi daerah sekitarnya. Sebagai negara maritim, sudah seharusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia berpusat dari pelabuhan. Hal itu untuk menunjukkan bahwa sektor perdagangan lintasdaerah melalui laut dapat berjalan dengan baik.

 

Jangan sampai ketika kapal pengangkut barang akan bersandar harus tertahan sekian lama tanpa kejelasan lantaran terbatasnya kemampuan dermaga dalam pemeriksaan barang. Belum lagi, ketika akan dibawa keluar dari pelabuhan malah harus antre lagi karena jalanan sangat macet. Hal itu jelas menjadikan distribusi barang di negeri ini menjadi tidak lancar dan menciptakan biaya tambahan.

 

Kalau hal itu terus berulang, pihak yang paling menanggung dampaknya adalah rakyat. Sebagai konsumen, mereka harus membayar cukup mahal barang yang sebenarnya bisa lebih murah akibat ongkos berlebih yang harus dikeluarkan dalam proses selama di pelabuhan.

 

Solusi

Pemerintah yang telah cukup lama mengabaikan peran penting pelabuhan sekarang harus bergerak cepat mengatasi masalah yang muncul. Pasalnya, bongkar muat barang di pelabuhan bisa dijadikan andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Jika saja kondisi pelabuhan bisa ditingkatkan, tentu segala hambatan distribusi barang bisa diminimalisasi.

 

Hal itu selain untuk melancarkan arus barang, juga mengurangi waktu tunggu keluar dari pelabuhan. Dengan semakin menumpuknya barang maka jelas berpengaruh terhadap nilai barang.  Pengusaha yang terbebani dengan biaya tambahan, ketika melepas barangnya di pasaran, tentu harganya bisa lebih mahal dari seharusnya.

 

Kondisi itu mau tidak mau dilakukan lantaran mereka tak bisa tidak untuk membebankan biaya kepada konsumen. Rakyat yang menjadi konsumen harusnya bisa mendapat harga barang lebih kompetitif akhirnya mengeluarkan dana berlebih.

 

Pembenahan sarana infrastruktur yang sedang digencarkan pemerintah memang layak diapresiasi. Selain memangkas waktu dwelling time, perbaikan sarana infrastruktur juga tidak kalah genting harus segera dicarikan solusinya. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah yang terbaru adalah pembangunan jalur monorel khusus pelabuhan.

 

Nantinya, sarana transportasi berbasis rel tersebut akan menyambungkan terminal Tanjung Perak ke Teluk Lamong sepanjang 11,44 kilometer. Dengan adanya pengangkutan peti kemas melalui jalur rel, hal itu setidaknya bisa meningkatkan terjadinya efisiensi pengiriman barang. Dengan terhindar dari kemacetan, jelas menciptakan terjadinya akumulasi percepatan pertumbuhan ekonomi.

 

Masalah mendasar yang sering terjadi di pelabuhan Tanjung Perak harus segera dipecahkan. Kondisi tingkat penumpukan isian lapangan dan waktu tunggu tidak bisa ditoleransi lagi. Bertambahnya pengeluaran selama perjalanan di laut dan darat menjadikan barang tidak kompetitif di pasaran harus segera ditangani.

 

Kita harus ingat, mengapa berbagai produk buah lokal kalah bersaing menghadapi gempuran buah dari Cina? Hal itu tidak lepas dari buruknya sektor perdagangan yang bermula di pelabuhan. Produk Cina bisa langsung membanjiri pasar karena pengusaha lokal harus mengeluarkan biaya ekstra ketika berurusan dengan pelabuhan. Hal itu jelas membuat daya saing dalam negeri anjlok.

 

Semoga saja dengan penataan dan pembangunan berbafai fasilitas yang tengah digencarkan bisa membuat arus distribusi barang tambah lancar. Terjadinya kongesti yang selama ini terus berlangsung bisa segera diatasi. Karena dengan membengkaknya dwelling time, nilai kompetitif barang Indonesia sulit diharapkan bisa bersaing.

 

Pelabuhan yang seharusnya berperan sebagai sentra pertumbuhan ekonomi malah menjadi kawasan yang membebani sektor ekonomi di sekitarnya. Tentu kita tidak ingin hal itu terus terjadi. Kita berharap muara daya saing ekonomi Indonesia lahir dari pelabuhan. Semoga, Pelindo III tergerak untuk mengurai satu per satu masalah di Pelabuhan Tanjung Perak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement