Jumat 25 Oct 2013 15:12 WIB

Potensi Penyelundupan WTS Dinilai Tinggi

Rep: Andi Ikhbal/ Red: Dewi Mardiani
Gang Dolly di waktu malam
Gang Dolly di waktu malam

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Potensi penyelundupan wanita tuna susila (WTS) baru di lokalisasi Gang Dolly, Surabaya dinilai cukup tinggi. Diperlukan pengawasan dan kontrol rutin dari pengurus RT/RW di lingkungan setempat.

Sebelumnya, empat orang perempuan yang diduga korban perdagangan manusia ditemukan tersekap di Wisma Permata Biru, Gang Dolly. Mereka dipekerjakan sebagai WTS di area lokalisasi tersebut. Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto, mengatakan sejumlah pengelola wisma di kawasan itu berupaya menambah jumlah WTS. Mereka pun mendatangkannya dari desa.

“Nampaknya ada satu tempat yang diduga menjadi ruang persembunyiaan para WTS baru itu sehingga keberadaannya tidak terdeteksi,” kata Irvan saat dikonfirmasi, Jumat (25/10). Namun, dia mengatakan, hal tersebut masih didalami oleh pihak kepolisian. Langkah preventif yang didorong Pemerintah Kota Surabaya yakni, mengajak warga khususnya pengurus RT/RW memonitoring kawasan prostitusi itu.

Untuk menimbulkan efek jera, Irvan menambahkan, akan mengambil tindakan tegas terhadap wisma yang dinilai melanggar aturan. Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 7 tahun 1999, tidak boleh ada penambahan WTS di Gang Dolly. “Untuk pelajaran bagi pengelola lain, saat ini Wisma Permata Biru kami tutup,” ujar dia.

Pada Selasa (22/10) malam, tim gabungan dari Polsek Sawahan, Satpol PP Surabaya dan Garnisun menemukan empat WTS baru yang diduga menjadi korban perdagangan manusia.

Keempatnya masing-masing bernama Rita (21 tahun) asal Kendal, Nurul (23) asal Batang, Nur (27) asal Pati dan Tari (29) asal Pemalang. Mereka mengaku dipaksa untuk bekerja sebagai WTS lantaran desakan ekonomi. Padahal, keinginan awal mereka hanya untuk mencari penghasilan di tempat karoke atau cafe. Namun oleh pemilik wisma justru dijadikan sebagai pekerja seks.

Di tambah, menurut pengakuan mereka, perlakuan pemilik wisma terlalu sewenang-wenang. “Kami hanya dapat jatah Rp 43 ribu dari tarif yang dikenakan Rp 100 ribu,” ujar Rita. Saat dilakukan operasi pun, petugas gabungan menemukan keempatnya di sebuah ruangan gelap yang pengap dan terkunci rapat. Mereka pun hanya mendapat jatah makan satu piring nasi untuk dihabiskan bersama.

Dua pengelola wisma berinisial Sug (44) dan Skd (46) kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Untuk menimbulkan efek jera, sekaligus pelajaran bagi yang lain, Wisma Biru ditutup selamanya. Diperkirakan, kasus serupa terjadi di wisma-wisma lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement