REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Priyantono Oemar
Ada lima pelanggan ketika saya masuk Warung Sate Solo Pak Hadi di Mampang Prapatan, Jumat (18/10). Pesanan saya terhidang, lima pelanggan itu sudah selesai makan. Saya lirik piring mereka ketika mereka antre membayar.
Tiga orang yang semula makan di meja yang saya tempati, menyisakan nasi di piringnya. Satu piring masih ada nasi sekitar tiga sendok. Satu piring lagi saya hitung ada delapan butir nasi, dan satunya lagi ada 11 butir nasi. Yang menggunakan piring-piring ini adalah pekerja kantoran yang masih muda.
Dua piring lagi ada di meja lain, masih bisa saya lirik. Keduanya bersih. Yang makan dengan piriring itu adalah laki-laki berumuran 50-an. Mengenakan peci haji, seperti baru pulang dari Shalat Jumat.
Pelayan Pak Hadi mengumpulkan makanan sisa itu di botol galon yang sudah dipotong bagian atasnya. ‘’Terkumpul mencapai tiga perempat galon,’’ ujar pelayan Pak Hadi.
Ismail, pemilik Warung Bebek Josss Cikaret, Cibinong, merasa beruntung karena tak banyak pelanggannya yang menyisakan nasi di piring. ‘’Dalam sehari sisa makanan di piring tak sampai seplastik kecil,’’ ujar Ismail menunjuk plastik ukuran seperampat kilogram.
Warung Bebek Josss sengaja tak memberi kesempatan pelanggannya menyisakan nasi di piring dengan cara menyajikan nasi dalam takaran kecil. ‘’Kalau masih kurang bisa minta tambah, tapi ada saja yang pesan seperempat atau setengah takaran,’’ ujar Ismail.
Jika ada yang sudah dipesan tapi sisa, pelanggan biasanya meminta dibungkus untuk dibawa pulang. Menurut Ismail, hal itu membantu dirinya untuk tidak memproduksi limbah makanan.
Meninggalkan sebutir nasi saja, jika itu dilakukan oleh 200 juta penduduk Indonesia dalam sekali makan, aka nada 200 juta butir nasi yang terbuang. Jika sehari makan dua kali, ada 400 juta butir nasi yang terbuang.
Menurut selever.freeshell.org, satu gram beras terdiri dari 50 butir beras. Maka, 400 juta butir nasi itu sama dengan 800 kg beras yang hilang setiap harinya. Menurut FAO, saat ini masih ada 870 juta orang yang kelaparan setiap hari.
Ngagembol
Makanan sisa juga menjadi masalah lingkungan saat ini. September lalu, FAO merilis data ada 1,3 miliar ton makanan sisa setiap tahunnya. September merupakan bulan beras di Amerika. Whole Grain Council melakukan kampanye beras selama September itu.
Menurut FAO, limbah nasi tercatat menghasilkan jumlah yang besar untuk gas metana. Asia dicatat sebagai kawasan yang boros untuk nasi, sereal, dan air.
Padi butuh air, memasak nasi pun butuh air, butuh listrik. Memasak sereal juga demikian, sehingga jika banyak nasi dan sereal yang terbuang, berarti membuang-buang air dan energi juga. BBC melaporkan, ada 550 miliar meter kubik air yang digunakan untuk mengairi tanaman pangan, yang akhirnya tidak pernah dimakan.
Soal buang-buang air, jamaah haji Indonesia dikenal boros air selama di Tanah Suci. Mereka memperlakukan air seperti di Tanah Air yang berlimpah dengan air, padahal air di Tanah Suci sangat terbatas. Panitia Haji Indonesia selalu meminta jamaah untuk irit air.
Air dalam kemasan juga banyak terbuang. Belum habis betul air itu diminum dari botol atau gelas, botol lantas dibuang begitu saja. Di Makkah, ada banyak botol yang masih ada airnya dibuang begitu saja.
Agar tidak membuang botol sembarangan, selama musim haji 2010, saya memilih selalu membawa kain yang saya simpan di tas. Jika ada sisa makanan atau botol akan saya gembol dengan kain itu, atau saya simpan di tas jika tasnya masih cukup menampung.
Sampah selama musim haji termasuk besar di Tanah Suci. Itu termasuk sampah makanan sisa. Dalam pertemuan penyelenggara haji se-Asia Tenggara di Mina pada musim haji 2010 itu, Indonesia mempersoalkan menumpuknya sampah itu.
Penulis buklet The Green Guide for Hajj yang juga CEO Faith Regen Foundation Dr Husna Ahmad seperti dikutip CNN mengungkapkan ada sekitar 100 juta botol plastik yang dibuang oleh jamaah selama musim haji 2010. Setiap tahun, ada sekitar 2,5 juta jamaah di Makkah. Memasuki Makkah, mereka akan mendapat air zamzam kemasan botol 380 ml. Botol kecil ini cenderung akan dibuang jamaah begitu air selesai di minum.
Maka, kemudian mereka akan membeli air kemasan dalam botol ukuran 600 ml atau satu liter. Jika yang dibeli botol satu liter, oleh jamaah Indonesia biasanya dipakai lagi untuk mengambil air zamzam dari Masjidil Haram dibawa ke pondokan. Tapi, jika yang dibeli botol 600 ml, ada peluang untuk dibuang juga botol itu.
‘’Jamaah menjadi rusak oleh konsumerisme. Alih-alih membeli jutaan botol plastik, seratus tahun lalu jamaah bepergian membawa termos,’’ ujar Sekretaris Jenderal Green Pilgrimage Network, Martin Palmer, seperti dikutip CNN.
‘Memenuhi’ Sungai Volga
Limbah makanan yang mencapai 1,3 miliar ton per tahun itu, menurut FAO, jika ditumpahkan ke Sungai Volga banyaknya ya sepanjang sungai penting di Rusia itu. Dengan panjang 3.692 km, Sungai Volga tercatat sebagai sungai terpanjang di Eropa.
Di Amerika, jika limbah makanan itu dimasukkan ke Gedung Empire State, membutuhkan 91 Gedung Empire State untuk bisa menampungnya. Jumlah limbah makanan di Amerika Serikat, seperti dikutip Arabnews, mencapai 33,79 juta ton selama 2010. Warga Amerika Serikat tercatat membuang makanan sebanyak 115 kg setiap hari.
Friends of the Earth, seperti dilaporkan BBC, mencatat warga Hong Kong membuang makanan sebanyak 0,5 kg setiap hari. Warga Singapura dicatat membuang 0,36 kg makanan tiap harinya dan warga Taiwan membuang 0,35 kg per hari. Di Seoul, warganya tercatat membuang 0,29 kg makanan per hari.
Di Dubai, makanan yang dibuang juga tinggi. Selama Ramadhan saja, ada 1.000 ton makanan buka puasa yang dibuang pada 2011. Sudarmono, juru masak di sebuah hotel di Dubai mengakui, pilihan membuang makanan sisa banyak dilakukan di Dubai.
Tindakan itu, menurut Sudarmono, berbeda dengan hotel di Indonesia. ‘’Makanan sisa di hotel tempat kerja saya dulu, dibagikan ke panti-pantyi asuhan dan kantin karyawan,’’ ujar juru masak yang pernah bekerja di hotel di bilangan Mega Kuningan, Jakarta, itu.
Kebiasaan membuang makanan sisa di Dubai itu, seperti dilaporkan Republika on Line pada 2011, menggerakkan perempuan Belgia melakukan kampanye antimakanan mubazir. Perempuan itu bernama Els Huybrechts, pernah tinggal lama di Dubai.
Jumlah makanan yang dibuang di Australia juga cukup tinggi. Nilai limbah makanan di Australia, seperti dikutip ABC, mencapai delapan miliar dolar Australia per tahun. Untuk nilai limbah makanan dunia, menurut FAO mencapai 750 miliar dolar AS per tahun. Dengan kurs Rp 10 ribu, misalnya, nilai itu setara dengan Rp 7,5 triliun.
Limbah makanan di dunia yang mencapai 1,3 miliar ton itu, menurut FAO, menyumbang 3,3 miliar gas rumah kaca. Fakta yang buruk bagi keselamatan atmosfer.
Maka, Taipei menaikkan biaya sampah bagi warga yang membuang melebihi kantong yang telah ditentukan. Cara ini, menurut BBC, dapat menurunkan 62 persen sampah dari rumah tangga di Taipei.
Kearifan lokal
Arif Pribadi pernah memiliki kolega di kantor yang biasa menghabiskan makanan yangtak dihabiskan oleh rekan-rekannya. Kolega Arif itu memiliki prinsip makanan yang sudah ada di piringharus dihabiskan. ‘’Tindakannya itu membuat teman-teman di kantor menjadi nggak enak hati, sehingga harus menghabiskan makanan setiap kali makan,’’ ujar Arif yang berkantor di Jakarta Selatan.
Kolega itu sering menyatakan sebutir nasi itu diupayakan oleh petani dengan cucuran keringat dan biaya yang tak sedikit. Nasihat ini pula yang sering didengar Dian Kurniawan dari orangtuanya, sehingga Dian pun selalu berupaya tidak menyisakan makanan. ‘’Sewaktu saya kecil, orang tua saya selalu bilang kita itu susah mendapatkan beras. Harus jual singkong dari kebun untuk dibelikan beras,’’ ujar Dian yang asli Semarang.
Di masa kecil, Musiron sering mendapat petuah dari orang tuanya. Jika tak nasi yang sudah diambil dipiring tak dihabiskan, nasi itu akan menangis. ‘’Kata-kata itu pula yang sekarang saya katakana kepada anak-anak saya jika mereka menyisakan nasi di piring,’’ ujar warga Depok itu.
Di Manado, menyisakan nasi di piring juga pantang. Whitney Manueke biasa mendapat petuah dari orang tuanya semasa ia kecil dulu. ‘’Banyak orang yang butuh makanan, jadi kalau makan harus habis jangan sampai dibuang. Makanan itu berkat Tuhan,’’ ujar Whitney menirukan ucapan orangtuanya.
Menurut Whitney, di Manado juga ada anekdot ‘’Biar ngana bodok di sekolah mar jangan bodok makang’’. Artinya, biar kamu bodoh di sekolah, tapi jangan bodoh dalam hal makan. Membuang makanan adalah hal bodoh yang harus dihindari.
Maka, ketika hari itu ada nasi sisa, pun takakan dibuang, melainkan dijemur sampai kering. ‘’Kemudian digoreng, dicampur dengan gula merah cair, jadi makanan lagi. Namanya kue nasi,’’ ujar Jotje Wowor, sekretaris Desa Touure. ‘’Disebut juga dengan nama bepang,’’ ujar Whitney.
Di Jawa nasi kering digoreng lantas dicampur dengan kelapa parut. ‘’Namanya cengkaruk, sampai sekarang masih suka bikin,’’ ujar Tentrem Sriminarsih, penerima Upakarta 2010 asal Grobogan yang kini tinggal di Bengkulu.
Di Jawa, nasi kering dicampur bleng, ditanak lagi jadi gendar. Gendar dipadatkan, kemudian diiris-iris tipis, dijemur kering, digoreng, jadi kerupuk gendar. Cuma, karena bleng mengandung boraks, maka pemakaian bleng sangat sedikit takarannya.
Di Indramayu, nasi kering dimasak lagi menjadi nasi aking. Tapi, ketika warga Indramayu makan nasi aking, koran-koran ribut, bahwa Indramayu dilanda rawan pangan. Padahal, sejatinya, adalah memanfaatkan nasi agar tidak terbuang.
Meski ada kearifan lokal semacam itu, toh tetap saja ada orangyang sengaja menyisakan nasi di piring. Arif penah menyaksikan, ketika masih tinggal di Laweyan, Solo, semasa remaja. ‘’Kalau ada hajatan, orang-orang yang mriyayeni, selalu menyisakan nasi di piring, biar dianggap tidak rakus,’’ ujar Arif menyebut orang-orang dari kalangan menengah.
Di Manado, juga begitu. ‘’Ada juga yang membuang nasi sisa ke tempat sampah,’’ ujar Shely Kaunang, warga Koka, Kecamatan Tondano, Minahasa.