Jumat 25 Oct 2013 07:03 WIB

Buruh Tolak Inpres No 9/2013

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Djibril Muhammad
  Dalam aksinya, para buruh menuntut penghapusan upah murah, menghapuskan tenaga alih daya (outsourcing) dan jaminan kesehatan buruh.
Dalam aksinya, para buruh menuntut penghapusan upah murah, menghapuskan tenaga alih daya (outsourcing) dan jaminan kesehatan buruh.

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Karawang, menggelar aksi unjuk rasa. Aksi tersebut, berlangsung di halaman Pemkab Karawang.

Akan tetapi, aksi yang berlangsung lebih dari tiga jam itu tidak mendapat sambutan dari siapapun. Akhirnya, selepas adzan dzuhur, ratusan buruh tersebut membubarkan diri.

Koordinator Aksi, Suparno, mengatakan, ada sejumlah poin yang jadi tuntutan buruh. Seperti, digugurkannya Inpres No 9/2013 mengenai pemerataan UMK. Kemudian, buruh Karawang menolak sistem outsourcing modern.

Buruh juga menolak upah murah. Bahkan, untuk UMK 2014 mendatang, ingin ada kenaikan sebesar 50 persen dari UMK tahun ini. "Kami ingin, tuntutan ini bisa dikabulkan," ujar Suparno, di hadapan massa buruh, Kamis (24/10).

Dia menjelaskan, alasan buruh menolak Inpres No 9/2013, karena dalam aturan itu buruh tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Sebab, Inpres tersebut tidak mengatur mengenai dewan pengupahan dan sistem pembahasan upah secara tripartit.

Dengan begitu, kebebasan bersuara buruh untuk ikut dalam menentukan besaran UMK, terasa dikebiri dengan turunnya aturan tersebut.

Buruh Karawang, Suparno melanjutkan, tidak ingin Inpres itu berlaku. Sebab, aturan itu nantinya akan jauh lebih buruk dari aturan yang sudah ada. Lebih baik, pembahasan UMK dilakukan secara manual.

Yakni, dibahas oleh dewan pengupahan. Sebab, di dalam dewan pengupahan ini, sudah ada unsur dari pemerintah, buruh dan pengusaha.

Melalui pembahasan tripartit ini, suara buruh bisa didengarkan oleh semua pihak. Termasuk, pengusaha dan pemerintah. Akan tetapi, bila Inpres No 9/2013 itu berlaku, setiap perusahaan yang UMKnya di atas KHL, tak perlu melakukan pembahasan UMK lagi.

"Jelas, kami sebagai buruh sangat dirugikan. Soalnya, mayoritas buruh di sini upahnya belum sesuai KHL," ujar dia.

Aksi buruh itu, ternyata tidak mendapatkan tanggapan dari unsur pemerintahan setempat. Bupati dan Kepala Dinas Tenaga Kerja setempat, tidak terlihat batang hidungnya. Begitu juga dengan para anggota dewan. Karena tak ada yang menanggapi, aksi tersebut akhirnya bubar dengan sendirinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement