Rabu 23 Oct 2013 23:43 WIB

Anggota DPR: Perubahan UU MK Sebaiknya Lewat Revisi

Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Aboe Bakar, menilai perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu dilakukan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), melainkan hanya perlu melalui revisi.

"Soal perubahan UU MK melalui Perppu, saya rasa tidak pas, karena sebenarnya tiga substansi dalam Perppu MK, yang berkaitan dengan persyaratan hakim, seleksi hakim, serta pengawasan hakim MK, lebih cocok diatur dalam revisi Undang-Undang MK," kata Aboe Bakar di Jakarta, Rabu (23/10).

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara diskusi "Penyerahan Dukungan Masyarakat Sipil Tolak Perppu MK" yang dilaksanakan di Gedung Nusantara III DPR.

Aboe tidak melihat adanya keadaan mendesak atau urgensi untuk Presiden mengeluarkan Perppu MK, karena MK dinilai masih dapat berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada. "Belum ada hal ikhwal yang memaksa dan menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut Presiden mengeluarkan Perppu," ujarnya.

Namun, ia mengakui "hal ikhwal yang memaksa" dalam syarat penerbitan Perppu memang cenderung menjadi hak subjektif Presiden. Ia menjelaskan, UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1 menyatakan, "Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang".

Berdasarkan ketentuan itu, kata dia, secara konstitusional Presiden memang memiliki kewenangan subjektif untuk menerbitkan Perppu dengan syarat terdapat kegentingan yang memaksa. "Akan tetapi, UUD 1945 tidak menentukan apa yang disebut dengan 'kegentingan yang memaksa' itu," tuturnya.

Walaupun demikian, Aboe menyebutkan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 yang menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai "kegentingan yang memaksa". Syarat pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu lama, sedangkan keadaannya mendesak dan perlu kepastian untuk diselesaikan. "Bila kondisi di MK tidak mencerminkan 'kegentingan yang memaksa' seperti syarat-syarat itu maka Perppu sebetulnya tidak perlu, cukup dengan revisi," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement