REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ichsan Emrald Alamsyah (wartawan Republika)
Berapa kali Anda merasakan gempa dalam sehari? 'Tidak ada,', kalau Anda berada di DKI Jakarta dan sekitarnya, mungkin akan menjawab seperti itu.
Namun berbeda bagi Anda yang tinggal di selatan Jawa, Sumatra atau Indonesia Timur. Tak hanya guncangan, bahkan warga Nangroe Aceh Darussalam pernah merasakan kengerian dahsyatnya tsunami akibat gempa yang terjadi di kedalaman laut yang berada dekat dengan perairan Aceh.
Nah, sekarang siapkah Anda ketika terjadi bencana ? Kalau kita merujuk data yang disodorkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tentunya akan geleng-geleng kepala. Bayangkan, jumlah kejadian dan korban antara-tahun 1815 hingga 2013, sudah mencapai angka ribuan dan nyaris jutaan kalau bicara jumlah korban.
Soal antisipasi korban ini memang menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat. Kota Padang misalnya, Saat gempa meluluhlantakan kota ini pada September 2009 lalu, jumlah korban cukup besar. Sekarang, jika Anda ke Padang, maka banyak sekali ditemukan rambu-rambu jalur evakuasi dan tempat berkumpul jika terjadi gempa di kota ini.
Hasan Effendy (35 tahun), seorang warga Kota Padang, mengaku saat ini antisipasi warga Padang terhadap gempa sudah sangat tinggi. Malah sekarang ini, orang Minang telah terbiasa dengan guncangan gempa. Begitu juga pengakuan Vanessa Nadia Olastri. Warga Padang berusia 24 tahun ini menunjuk Pemerintah Kota Padang sudah siap jika kembali terjadi gempa.
Namun, meski dinyatakan siap, Vannesa mengaku masyarakat masih panik dan trauma ketika gempa kembali terjadi.''Ketika gempa kembali melanda Padang, akhir tahun lalu, masih banyak masyarakat yang panik,'' katanya.
Berbagai bencana, seperti tsunami, gempa, letusan gunung berapi, melanda bangsa ini silih berganti. Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan kesiagaan orang Indonesia menghadapi bencana sangatlah rendah. Oleh karena itu sangatlah penting bagi bangsa ini untuk membudayakan sadar bencana.
Salah satu caranya, menurut dia adalah pendidikan sadar bencana. Hal ini akan membentuk karakter dan pengetahuan bencana. Tak hanya itu, pendidikan juga meningkatkan pemahaman terkait bencana dan antisipasinya. ''Soal panik saat bencana itu universal. 3 hari x 24 jam adalah panic period ketika bencana,'' katanya.
Pendidikan tersebut, tutur dia sepatutnya dilakukan sejak usia dini sampai akhir hayat, baik pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan sadar bencana tak perlu dibuat menjadi satu mata pelajaran khusus. Akan tetapi di selipkan pada mata pelajaran lain.
Khusus di daerah rawan bencana, menurut dia, pendidikan itu bisa berupa muatan lokal tergantung jenis bencana. Namun, tak hanya di daerah rawan bencana, pendidikan sadar bencana juga harus diterapkan di semua daerah. Pendidikan ini tentu sesuai dengan ancaman bencana di masing-masing daerah.
Seperti siswa di Pulau Kalimantan, tak perlu belajar penanganan gempa, tsunami dan erupsi gunung berapi. Tetapi disana yang harus diajarkan adalah waspada banjir dan kebakaran hutan.
Menurut Sutopo, dalam pendidikan sadar bencana ini bukan hanya berupa teori. Yang paling penting adalah simulasi. Sutopo mencontohkan Jepang yang melakukan pelatihan sadar bencana dengan simulasi kepada siswa-siswa sekolahnya.
Cerita soal pelatihan sadar bencana yang dilakukan Jepang juga diutarakan oleh Wiwie Tanuwinata, warga Indonesia yang tinggal di Jepang.
Saat ia menetap di Fuchu, Tokyo, dirinya terbiasa dengan kata Jishin (gempa bumi). ''Ini karena diajarkan tidak hanya di sekolah tapi juga di masyarakat luas,'' katanya.
Malah menurutnya, ia terbiasa mengecek informasi gempa dan besarnya skala gempa tersebut setiap saat. Wiwie mengaku, saat dirinya pindah ke Jepang, sempat ketakutan dengan bencana gempa yang memang rutin terjadi di Jepang. ''Namun karena pelatihan yang terus menerus dilakukan pemerintah Jepang, membuat kami menganggap gempa sudah menjadi bagian dari kehidupan kami sehari-hari,'' katanya.
Di wilayah tempat tinggalnya, Wiwie rutin mengikuti latihan bencana (Kunren). ''Bayangkan pelatihan ini diadakan di tingkat kelurahan,'' katanya, tergelak.
Tak hanya pelatihan, pegawai pemerintah di Jepang, rutin melakukan pengecekan alat penyelamat bencana mulai dari tangga darurat hingga alarm gempa di setiap kediaman warga Jepang.
Bicara soal sadar bencana, sebenarnya bangsa ini sudah cukup lama sadar akan rawannya bencana alam. Direktur Tim Perencana Arsitektur (TPA) Universitas Muhammadiyah Surakarta, MS Priyono Nugroho mengatakan sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia mendesain tempat tinggal yang lebih arif terhadap lingkungan. Sehingga bangunan tradisional, menurut dia, lebih tahan terhadap kondisi alam, semisal gempa. Selain itu, bangunan juga dibuat lebih tinggi agar tak terkena banjir.
Sayangnya dalam proses peralihan dari bangunan tradisional ke modern, tak diikuti kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam. Tak heran, misalnya ketika terjadi gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menjalar ke wilayah Kabupaten Bandung, banyak bangunan yang hancur. Banyak bangunan bertingkat yang luluh lantak tak kuat menahan goncangan. Hal itu terjadi karena bangunan tersebut tak memiliki pondasi yang kuat.