REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kebutuhan pangan dan energi di tengah lahan yang terbatas memang menjadi persoalan yang nampaknya terus berkejaran. Lahan gambut yang semula menjadi lahan ‘tak tersentuh’, belakangan menjadi lahan yang dinilai potensial bagi perkebunan oleh para ahli tanah.
Dalam Konferensi Internasional Himpunan Ahli Ilmu Tanah Asia Timur dan Tenggara (ESAFS) di IPB International Convention Center, Senin (21/10), Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian, Dr Muhrizal Syarwani, menjelaskan dari 189 juta hektar tanah Indonesia, hanya 45 persen yang dapat dikategorikan sebagai lahan subur.
Itupun terkonsetrasi di Pulau Jawa. 55 persen lahan kurang subur yang tersebar di luar Jawa disebabkan nutrien rendah, campuran pasir yang terlalu besar, serta lapiran tanah yang kurang dalam untuk perakaran tumbuhan.
Lahan gambut Indonesia yang mencapai 14,9 juta hektar merupakan lahan yang awalnya banyak tak dilirik untuk pertanian mengingat stok karbon yang disimpannya cukup besar. Indonesia sendiri merupakan negara ke empat dengan lahan gambut terluas setelah Rusia, Kanada, dan Amerika.
"Jika lahan gambut tidak dikelola dengan baik, maka potensi nya untuk melepas karbon ke atmosfer semakin besar. Ini tentu menjadi perhatian kita semua mengingat isu pemanasan global yang berkembang," tutur Muhrizal.
Karbon yang dilepas tanah gambut bisa dikurangi dengan menanami lahan gambut dengan tumbuhan yang cocok seperti Acacia cracicarpha. Dari hasil penelitian, tumbuhan ini dapat mengurangi emisi karbon di udara.
Tumbuhan asli Papua ini merupakan anggota tumbuhan polong-polongan yang mampu menangkap nitrogen dari udara melalui bintil akarnya. "Proses alami ini akan membantu menutrisi tanah," kata Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Lampung, Profesor Muhajir Utomo.
Selain itu, manajemen air yang berkelanjutan akan menekan stok karbon dalam lahan gambut tidak lepas ke udara. Ini bisa dilakukan dengan membuat pintu-pintu air dari hulu ke hilir di wilayah berlahan gambut.
Mekanisme membuka jalan air dari hulu ke hilir dinilainya rawan menurunkan level air kurang dari yang berakibat pada lepasnya karbon ke udara. Level air di lahan gambut harus dijaga pada kisaran 50 hingga 60 centimeter.
Pengelolaan lahan tanpa membakar juga perlu menjadi komitmen besama semua pihak. Kebakaran gambut selain memperparah emisi karbon, juga menjadi penyebab timbulnya asap.
Program rehabilitasi satu juta hektar lahan gambut dinilai salah dari sisi manajemen sebab pembuatan saluran air untuk mengairi lahan gambut dibuat tidak sesuai topografi lahan. Ini sangat disayangkan banyak pihak.
Lahan gambut rusak yang saat ini mencapai tiga juta hektar. Guru Besar Ilmu Tanah IPB, Profesor Supiandi Sabiham menilai cara yang paling mungkin dilakukan untuk lahan gambut yang rusak saat ini adalah rehabilitasi lahan, bukan restorasi.
Rehabilitasi dengan memanfaatkan lahan rusak untuk kegiatan lain seperti perkebunan. Ia menilai fungsi perkebunan hampir mirip dengan fungsi hutan.