REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Humas WWF Riau Syamsidar mengemukakan pemicu kematian gajah itu adalah konflik dengan manusia karena gajah masih dianggap sebagai hama perusak perkebunan.
Konflik gajah dan manusia juga kerap ditunggangi oleh kepentingan perburuan, dugaan tersebut karena seluruh gajah jantan yang mati nyaris seluruhnya tanpa gading.
"Faktor penyebab terus terjadinya kematian gajah di Riau akibat lemahnya penegakan hukum, karena pelaku menilai tidak pernah ada hukuman terhadap pembunuhan gajah," kata Syamsidar.
Selama dua tahun terkhir, demikian Syamsidar, ada 19 kasus kematian gajah yang belum terungkap. Pada 2012, sebanyak 12 gajah ditemukan mati akibat diracun di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, sedangkan tiga lainnya di daerah lain.
Hingga September 2013, sudah ada empat kasus kematian gajah di Tesso Nilo padahal populasi gajah di Riau diperkirakan hanya tinggal 300 ekor.
Syamsidar mengatakan, untuk mengurangi kerugian akibat konflik tersebut, WWF bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau dan Balai TNTN untuk melakukan penanganan konflik yang berkepanjangan itu.
Salah satunya, menurut dia, yakni dengan menggunakan gajah pengusir (flying squad) yang telah dilakukan sejak April 2004. Upaya ini dilakukan dengan memberdayakan gajah latih unuk mengusir dan menggiring gajah liar kembali kehabitatnya di kawasan hutan.
Ia mengatakan, tim ini telah ditempatkan di kawasan rawan konflik seperti di desa Lubuk Kembang Bunga, yang merupakan pedesaan berbatasan langsung dengan TNTN. Tim Flying Squad terdiri dari empat gajah dan delapan orang perawat yang selama ini disebut mahout.
"Selain dengan gajah, tim juga ada yang patroli dengan menggunakan sepeda motor dan mobil," katanya.