Jumat 18 Oct 2013 01:37 WIB
Resonansi

Imagining ASEAN Community 2015

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra

'Membayangkan Komunitas ASEAN 2015'; apa yang ada dalam imajinasi dan persepsi masyarakat Indonesia? Mungkin tidak banyak yang bisa dibayangkan. Konsep, praksis, dan konsekuensinya bagi warga Indonesia jelas tidak banyak diketahui, apalagi sudah siap menyambut era Komunitas ASEAN tersebut. Padahal, pelaksanaannya tidak lama lagi, hanya sekitar dua tahun.

Komunitas ASEAN 2015. Banyak yang tidak tahu atau lupa, bahwa konsep dan kesepakatan tentang 'komunitas tunggal' ASEAN muncul dalam KTT ASEAN di Bali 2003 yang menghasilkan 'Bali Concord II'. 'Kesepakatan Bali II'  dipandang sebagai langkah strategis menuju keseimbangan baru di antara negara-negara ASEAN, yang mencakup beberapa prinsip pokok; pemeliharaan stabilitas regional yang memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi; penguatan, dan konsolidasi demokrasi, peningkatan penghormatan pada hak asasi manusia, dan penguatan tata kelola pemerintah yang baik dan penegakan supremasi hukum.

Dengan prinsip-prinsip pokok itu, bagaimana kita membayangkan Komunitas ASEAN 2015? Dalam imajinasi banyak petinggi ASEAN, ketika konsep itu dirumuskan, lewat Komunitas ASEAN 2015 kehidupan ekonomi, bisnis,  sosial, dan budaya di kawasan ini menjadi 'menyatu'. Dengan begitu, batas-batas yang ada di antara negara-negara ASEAN menjadi 'kabur'. Hasilnya, warga dari negara-negara yang kompetitif dalam hal kapital, sumber daya manusia, dan teknologi bakal menguasai ekonomi dan pasar ASEAN. Sebaliknya, warga dari negara-negara terbelakang akan menjadi konsumen dan receiving ends belaka.

Dalam keadaan seperti itu, bisakah dibayangkan posisi masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia negara-negara lain semacam Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, atau bahkan Vietnam? Siapkah ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia bersaing dengan kekuatan negara tersebut? Pertanyaan ini agaknya bisa dijawab pemegang kebijakan negeri ini dan masing-masing warga Indonesia.

Membayangkan Komunitas ASEAN 2015. Subjek ini mungkin tidak pernah terpikirkan kalangan pemerintah dan warga Indonesia. Tetapi, ia menjadi tema pokok seminar yang diselenggarakan The Sydney Southeast Asia Centre, Sydney University, Australia, pada 11 Oktober 2013. Turut berbicara pada seminar itu dalam sesi tentang aspek sosial-budaya [dan juga agama] Komunitas ASEAN 2015 saya menangkap banyak skeptisisme dari sejumlah 16 pembicara. Semua skeptisisme itu cukup beralasan.

Pertama, secara ekonomi kawasan ASEAN mengandung ketimpangan dan disparitas satu sama lain. Ada negara-negara dengan ekonomi sudah sangat atau relatif baik seperti Singapura dan Malaysia, atau cukup baik seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Tetapi di tengah 'membaiknya' kondisi perekonomian masih sangat banyak warga ASEAN yang miskin di Indonesia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kampuchea, atau Laos. Warga miskin ini kemudian meninggalkan negaranya menuju Singapura atau Malaysia di mana mereka rata-rata mendapatkan gaji rendah dan bahkan mengalami pelecehan.

Kedua, pertumbuhan demokrasi di kawasan ASEAN juga terlihat senjang. Terdapat negara-negara yang menerapkan 'demokrasi liberal' seperti Indonesia dan Filipina. Pada pihak lain, meski juga menerapkan demokrasi, ada negara-negara yang pada dasarnya menerapkan totalitarianisme --jika tidak otoritarianisme-- semacam Singapura, Thailand, atau bahkan Malaysia. Lalu ada pula negara yang masih bergulat dalam proses transisi paling awal menuju demokrasi seperti Myanmar. Di tengah keragaman politik itu, masih terjadi pelanggaran HAM.

Ketiga, kesenjangan juga terkait dengan posisi dan hubungan antara agama dan negara. Ada negara yang memiliki agama resmi seperti Malaysia dan Brunei Darussalam sehingga umatnya mendapat perlakuan khusus dari negara dengan mengorbankan pemeluk agama minoritas. Tetapi, juga negara yang tidak memiliki agama resmi, meski mayoritas penduduk masing-masing negara berasal dari umat beragama tertentu seperti Indonesia, Filipina, atau Thailand. Karena itu, di negara seperti Indonesia, umat beragama pada dasarnya independen vis-a-vis negara.

Kesenjangan dalam hal agama ini dapat menjadi masalah serius ketika para warga Komunitas ASEAN 2015 dihadapkan pada problem semacam kebebasan beragama, hubungan mayoritas-minoritas umat beragama; literalisme dan radikalisme keagamaan; penyebaran agama dan seterusnya. Bukan tidak mungkin pula, Komunitas ASEAN mempercepat pertumbuhan paham dan gerakan agama trans-nasional yang belum tentu cocok dengan tradisi keagamaan masing-masing negara ASEAN.

Di tengah kesenjangan dan disparitas ini, tiap negara ASEAN tidak bisa membantu dalam isu-isu yang dianggap sensitif menyangkut politik dan HAM, misalnya. Hambatan itu berasal dari prinsip dasar ASEAN tentang 'non-interference', tidak campur tangan dalam urusan negara anggota lain. Prinsip ini tumpang tindih dengan prinsip kedaulatan masing-masing negara yang hampir tidak memungkinkan bagi negara anggota lain untuk 'membantu' negara anggota lain dalam penyelesaian masalah dalam negeri yang mereka hadapi. Bagaimanapun Komunitas ASEAN 2015 tetap harus diantisipasi, khususnya di Indonesia yang merupakan 'pasar' terbesar secara ekonomi, sosial-budaya, dan agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement