REPUBLIKA.CO.ID, SUNGAI RAYA -- Politik uang yang kerap terjadi setiap penyelenggaraan pilkada maupun pemilihan legislatif, menjadi fenomena yang sukar dihindari. Sebab, semua itu berkaitan erat dengan kebiasaan dan pengetahuan politik dari masyarakat yang masih mau dibeli suaranya.
"Selama masyarakat mau suaranya dihargai dengan sejumlah uang, memang tidak akan bisa menghilangkan politik uang ini," kata Pengamat Politik dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat, Bakran Suni di Pontianak, Rabu (16/10).
Menurut Kepala Program Studi S2 Ilmu Politik Universitas Tanjungpura itu, politik uang tidak hanya berupa uang yang diberikan kepada masyarakat, sudah terjadi dalam berbagai bentuk seperti bantuan semen, pakaian kampanye, kain, sembako dan lain sebagainya.
"Itu juga namanya politik uang karena mencoba mengiming-imingi masyarakat guna memilih salah satu calon kepala daerah ataupun calon legislatif bahkan presiden sekalipun. Ini memang susah untuk dihindarkan karena itu semua kembali lagi kepada masyarakat penerimanya, apakah mereka mau atau tidak," tuturnya.
Bakran menjelaskan, terkait dengan kasus dugaan politik uang yang terjadi di Kubu Raya dan saat ini sudah masuk dalam ranah MK, hal itu juga kembali lagi kepada masyarakat. Jika masyarakat berani membeberkan bukti yang jelas dan kuat, maka peluang pasangan yang menggugat itu terbuka lebar untuk memenangkannya.
"Namun, jika buktinya tidak kuat dan masyarakat tidak mau membeberkannya, jelas ini akan menjadi hal yang sia-sia. Karena untuk membuktikan politik uang itu bisa dikatakan sulit," kata Doktor pada National University of Malaysia, Bangi Kuala Lumpur, untuk Program Studi Scince Politic, Institute of Malay World and Civilization, pada Januari 2009 itu.