REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Subroto, Wartawan Republika
Jumlah penduduk Indonesia yang menderita penyakit gangguan jiwa berat atau skizofreniacukup besar. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, terdapat 0,46 persen penduduk atau 1.093.150 orang Indonesia yang mengidap skizofrenia.
Dari jumlah itu, ternyata hanya 3,5 persen saja atau 38.260 orang yang terlayani dengan perawatan memadai di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum maupun Pusat Kesehatan Masyarakat.
Menurut laporan World Health Organisation (WHO) 2010 tentang Global Burden Disease, penyakit skizofrenia sudah perlu diwaspadai. Pasalnya kini telah terjadi perubahan jenis penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Dari sebelumnya kematian ibu dan anak menjadi penyakit kronis termasuk kesehatan jiwa.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI), dr Bambang Eko Suryananto, SpKJ, menjelaskan, skizofrenia merupakan salah satu diagnosis gangguan jiwa yang ditandai antara lain dengan terganggunya kemampuan menilai realita dan penurunan fungsi peran. Biasanya skizofrenia mulai diderita pada usia dewasa muda.
Gangguan jiwa yang terjadi pada seseorang, termasuk skizofrenia, menurut Bambang, disebabkan oleh interaksi manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual. Secara biologis, skizofrenia disebabkan karena peningkatan neurotransmitter dopamin di otak, sehingga dapat timbul gejala-gejala perilaku, gangguan persepsi (mendengar suara meskipun tidak ada sumber suara), gangguan isi pikir yang berupa keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak wajar, dan lain-lain.
Secara psikologis, Bambang menjelaskan, pola asuh dan stresor lingkungan juga berperan dalam membentuk pola perilaku yang rentan terhadap gangguan jiwa, begitu juga kondisi sosial, sipitual, maupun budaya. Namun skizofrenia bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Menurut Bambang, pengidap skizofrenia bisa disembuhkan, asalkan pendekatan terapinya bersifat menyeluruh.
“Jadi, kita harus tangani baik secara biologi, dengan menggunakan obat-obatan, maupun pendekatan secara psikologis, sosial, dan spiritual. Apabila perjalanan penyakit belum lama dan belum parah, kemungkinan dapat disembuhkan lebih besar,” katanya kepada Republika.
Jika pasien segera dibawa berobat pada tahap awal menderita penyakit, penurunan fungsi peran dapat diminimalkan. Namun, masalahnya adalah stigma masyarakat tentang gangguan jiwa seringkali membuat pasien skizofrenia terlambat dibawa ke petugas kesehatan.
“Masyarakat lebih percaya bahwa penyakit ini disebabkan karena hal-hal mistis, sehingga terlebih dahulu dibawa ke dukun atau pengobatan alternatif. Ketika sudah kehabisan uang,penyakit tidak sembuh-sembuh, keluarga baru menyadari bahwa hal itu adalah suatu penyakit dan baru dibawa ke tenaga kesehatan,” paparnya.
Pentingnya dukungan keluarga
Keluarga, menurut Bambang, sangat berperan dalam memberikan dukungan pasien skizofrenia agar segera sembuh. Selain terapi obat-obatan, pasien skizofrenia juga memerlukan dukungan psikologis dan sosial. Lingkungan yang paling dekat adalah keluarga.
“Contoh peran keluarga dalam penyembuhan pasien skizofrenia, misalnya: pengawasan minum obat dan memberikan dukungan ketika pasien menghadapi masalah psikologis (tekanan-tekanan dalam kehidupan). Juga berperan dalam mendampingi pasien agar tetap dalam fungsi peranyang optimal,” jelasnya.
Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KSPI), Bagus Utomo, menambahkan, orangdengan skizofrenia (ODS) sangat membutuhkan dukungan keluarga. Dukungan ini menurutnya diperlukan saat mulai diketahui sakit, pada masa pengobatan dan perawatan, dan masa pemulihan.
“Kalau keluarga bisa memberikan dukungan sejak awal, maka kemungkinan pasien akan cepat pulih,” kata Bagus yang mengaku kakaknya pernah mengidap skizofrenia.
Menurut Bagus, banyak orang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ada anggota keluarganya mengidap skizofrenia. Yang terjadi mereka justeru mengucilkan penderita, dan menyerah untuk mencari pengobatan.
“Skizofrenia ini adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Banyak kisah suksesnya. Karena itu keluarga dan lingkungan harus memberikan support agar penderita cepat sembuh. Jangan justru menjauhi,” ujarnya.
Melalui KSPI, jelas Bagus Utomo, pihaknya berusaha untuk membantu warga yang anggota keluarganya mengidap skizofrenia. Mereka saling berbagi pengalaman untuk memulihkan ODS.
“Kita juga memberikan edukasi kepada masyarakat dan mendorong mereka yang sudah pulih untuk berani bicara ke publik mengenai kisah sukses mereka.”
Kampanye kesadaran publik
Menurut dr Bambang Eko Suryananto, saat ini pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan terbitnya Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Namun upaya itu menurutnyatidak begitu saja dapat diterima.
“Sebagian besar pemegang kebijakan masih menganggap masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kecil jika dibandingkan dengan masalah penyakit yang lain, misalnya penyakit infeksi, penyakit ibu dan anak, dan lain-lain,” tuturnya.
Hal ini dapat dilihat dalam program-program yang ditetapkan pemerintah. Dahulu, kesehatan jiwa termasuk program wajib puskesmas, namun sekarang, kesehatan jiwa di layanan primer (puskesmas) hanya program tambahan. Padahal menurut data WHO, dua per tiga pengunjung layanan primer menunjukkan gejala kejiwaan, dan seperempatnya dapat didiagnosis sebagai gangguan jiwa.
Upaya dalam menyediakan sumber daya manusia, dalam beberapa tahun terakhir sudah dilakukan dengan cara memberikan beasiswa kepada dokter umum yang bersedia mengambil spesialisasi jiwa. Namun hasilnya belum bisa dirasakan dalam waktu dekat, karena sekolah spesialisasi memerlukan waktu sekitar empat tahun. Sedangkan jumlah psikiater di Indonesiamasih terbatas, saat ini hanya sekitar 600 orang.
“Perlu diadakan program terobosan untuk menghadapi masalah ini, antara lain menggandeng pihak swasta untuk bersama-sama mengkampanyekan tentang kesehatan jiwa,” tuturnya.
Bambang mencontohkan aktivitas KPSI bersama PT Jansenn, dalam kampanye publik tentang kesadaran kesehatan jiwa Lighting the Hope for Schizofernia. Kampanye ini jelas Bambang,merupakan kegiatan yang diadakan oleh mereka yang peduli tentang masalah kesehatan jiwa di Indonesia. Selain KPSI, yang terlibat dalam kampanye ini adalah ARSAWAKOI dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).
“Tujuannya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa, terutama skizofrenia. Harapannya, dengan kegiatan tersebut, panderita skizofrenia dan keluarganya dapat hidup secara optimal dan terhindar dari stigma yang merugikan mereka,” jelasnya.
Ketua PDSKJI Dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ mengatakan program kampanye kesadaran public Lighting the Hope for Schizophrenia merupakan upaya kolaborasi pihak-pihak terkait yang menjadi harapan baru bagi penderita skizofrenia untuk kembali produktif dalam masyarakat.
“Kami sangat mendukung program ini dan akan terus memberikan informasi terbaru terkait penyakit skizofrenia dan pengobatannya,” kata Tun Bustaman saat peluncuran Kampanye Kesadaran Publik Lighting the Hope for Schizophrenia, di Jakarta beberapa waktu lalu.