REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menpora Adhyaksa Dault menjelaskan awal mulanya proyek di Hambalang. Oktober 2005, baru terjadi serah terima aset negara berupa tanah 32 hektare dari Dirjen Olahraga yang berada di bawah Kemendiknas.
Saat itu Kemenpora baru terbentuk sebagai peleburan dari Dirjen Olahraga. Saat itu di tanah tersebut sudah ada masjid dan bangunan. Namun, kata Adhyaksa, tanah itu masih diklaim oleh Probosutedjo. Meski pun, ia mendapat informasi Hak Guna Usaha Probosutedjo di tanah itu sudah mati pada 2002.
Adhyaksa pun mencoba mengurus sertikatnya ke BPN. Karena sertifikat belum keluar, pembangunan pun tidak bisa dilaksanakan. "Tidak boleh dibangun pada 2005 itu," kata dia ketika dihubungi, Ahad (13/10).
Mengenai pemilihan tanah Hambalang sebagai tempat pembangunan, Adhyaksa juga tidak mengetahuinya secara pasti. Padahal berdasarkan informasi ahli, tanah itu mudah rontok karena banyak kandungan air. Hanya saja ia juga mendapatkan informasi lokasi itu bagus untuk V02 (konsumsi oksigen). Pada 2007, Adhyaksa mengatakan, baru dibuat master plan pembangunan.
Adhyaksa mengatakan, master plan dibuat menyesuaikan dengan kontur tanah. Dalam master plan, rencananya hanya dua lantai ke atas dan dua lantai ke bawah. Karena itu, ia kaget ketika dalam master plan 2010 pada masa Andi, pembangunan menjadi berlantai-lantai.
Bahkan akhirnya ada yang ambruk karena tanah amblas. Maket itu dianggap berbeda dengan pada masanya. "Itu ceritanya yang Rp 600 miliar jadinya barang rongsokan," kata dia.
Pada masa jabatan Adhyaksa memang tidak pernah ada pembangunan. Ia mengatakan menghentikan rencana itu karena sertifikat tanah tak kunjung ke luar dari BPN hingga masa jabatannya berakhir.
Ia juga tidak mengerti mengapa pada masa Andi sebagai menpora, sertikat yang diurus bertahun-tahun itu bisa keluar dalam hitungan bulan. "Karena kita itu mau jalur lempeng-lempeng saja (urus sertifikat). Saya juga tidak mengerti itu tidak keluar-keluar," ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya turun tangan terkait proyek di Hambalang itu. Diduga terjadi korupsi dalam proyek bernilai Rp 2,5 triliun itu. KPK sudah menetapkan Andi sebagai tersangka dalam kasus ini.
Selain itu ada juga mantan Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusnidar dan mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya, Teuku Bagus Mohammad Noor. Dalam proyek itu disebut mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 436,6 miliar.
Sementara untuk kasus dugaan penerimaan gratifikasi terkait proyek itu, KPK baru menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka.