REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketahanan pangan negara makin digerogoti seiring dengan gempuran produk pangan impor. Sebagian besar komoditas pangan dipenuhi dari impor, hanya beras yang dirasa cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan nasional. Padahal berkaca dari masa lalu, sektor pertanian digenjot melalui pendekatan produksi. "Mulai dari pupuk, pestisida, semua mengarah agar produksinya maksimal," ujar Ketua Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub, Kamis (10/10).
Dengan alasan produksi pula, pemerintah lalu menjalin kerja sama dengan negara lain untuk membangun sektor pertanian. Dibuatlah perjanjian-perjajian kerjasama yang sekilas tampak menguntungkan. Indonesia pun masuk sistem tata niaga yang sudah diatur oleh negara-negara maju.
Seolah terkena euforia, pemerintah lalu asyik membina hubungan dagang dengan berbagai negara. Berbagai fasilitas dikerahkan, mulai dari pengurangan bea masuk, tarif, akses diperluas, asalkan negara lain mau diajak bermitra. Pemerintah getol betul mencari referensi strategi dari negara-negara industri maju seperti Amerika, Eropa, Jepang dan Taiwan. Namun akhirnya kita terjebak pada sisi industrialiasasi non pertanian daripada membuat sektor pertanian lebih berdaya. Misalnya, kita terpaku pada penyediaan alat berat dan alat pendukung pertanian.
Indonesia pun terlihat nyaman dianggap sebagai pasar produk pangan. Apalagi kondisi perekonomian kita sedang berkembang. Celakanya lagi, Indonesia tidak punya strategi yang konkrit mengenai pembangunan pertanian dan pangan. Padahal sebagai negara agraris, sepatutnya Indonesia bergerak leluasa membangun perekonomian dengan pula mempertimbangkan aspek lingkungan.
Berdasarkan kajian SPI, pemerintah bisa membenahi sektor pertanian dengan pendekatan kesejahteraan petani. Salah satu caranya bisa dengan mengembangkan badan usaha milik petani di kabupaten, dimana ada unit khusus pengolahan bahan baku. Misalnya, ada unit untuk pengolahan kentan menjadi bahan jadi atau untuk mengolah cabe mentah menjadi saus sambal. Lalu generasi muda di desa juga diajarkan metode direct selling (penjualan langsung) agar distrubusi lancar. "Jadi ada penyerapan tenaga kerja," katanya.
Apabila pendekatan produksi masih ingin diterapkan, maka pemerintah seharusnya menyediakan fasilitas berupa harga dasar untuk semua komoditas pertanian. Tanpa harga dasar yang layak, petani akan terus enggan menggenjot produksi. Selain itu perlu ada proteksi lahan pertanian agar tidak dikonversi menjadi bentuk lain. Tanpa serangkaian jaminan tersebut, jangan heran petani rela menjual tanahnya untuk membangun properti ketimbang digarap untuk kebutuhan pangan nasional.