REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan pemerintah terkait pilkada tak langsung untuk bupati/wali kota dianggap tidak menjamin bakal mengurangi angka korupsi di daerah. "Jika itu diberlakukan, paling yang terjadi adalah area korupsinya yang berpindah.
Yakni dari publik sebagai pasar atau sasarannya, beralih kepada DPRD," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Selasa (8/10).
Menurutnya, jika pemilihan kepala daerah diserahkan kembali kepada DPRD, malah akan membuka peluang bagi elite di daerah untuk bermain. Politik transaksional pun diperkirakan semakin menguat. "Dampaknya jelas berbahaya," tegasnya.
TIti berpendapat, pemilihan bupati dan wali kota lewat DPRD tidak saja mempersempit peluang publik untuk mengontrol kinerja pemerintahan di daerah. Melainkan juga menutup peluang kandidat alternatif untuk meraih jabatan tersebut. "Figur-figur seperti Jokowi tidak bakalan terpilih bila pilkada dilakukan tidak secara langsung," katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Agoes Poernomo mengatakan, belum ada titik temu antara parlemen dan pemerintah terkait beberapa pasal dalam RUU Pilkada. Kebuntuan ini terutama tampak saat mereka membahas masalah mekanisme pemilihan bupati dan wali kota.
Pemerintah menginginkan agar bupati/wali kota tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan lewat DPRD. Alasannya, pilkada langsung selama ini kerap menimbulkan konflik dan menyeret pejabat daerah kepada berbagai kasus hukum akibat biaya politik yang mahal.
Sejauh ini, Fraksi Partai Demokrat dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) telah menyetujui usulan pemerintah tersebut. "Sementara fraksi-fraksi lainnya tetap menginginkan agar bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat, kecuali Fraksi Partai Golkar yang sekarang sepertinya lebih moderat," beber Agoes.