Jumat 04 Oct 2013 18:34 WIB

'Delapan Hakim MK Harus Mundur'

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Heri Ruslan
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan  (PPP) Suryadharma Ali meminta delapan hakim di Mahkamah Konstitusi segera mundur dari jabatannya.

Hal itu, kata dia, perlu dilakukan untuk menjaga marwah dan roh Mahkamah Konstitusi yang sudah tercemar akibat tindakan khianat Ketua  Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

“Saya pikir untuk menjaga roh dan marwah Mahkamah Konstitusi, lebih baik delapan hakim Mahkamah Konstitusi yang tersisa saat ini mengundurkan diri. Ini demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar karena bagaimanapun dengan tertangkapnya Akil Mochtar, MK sudah tercemar nama baiknya,” ujar Surya ketika dihubungi wartawan, Jumat (4/10).

Surya mengatakan sulit bagi masyarakat menerima fakta jika memang ada permainan di MK itu dilakukan sendiri oleh Akil. Oleh karena itu meski belum terbukti adanya keterlibatan hakim-hakim konstitusi lainnya, tapi demi menjaga kepercayaan publik terhadap MK, maka dirinya menyarankan semua hakim yang ada untuk mundur.

“Mereka harusnya memahami bahwa ada kepentingan bangsa ini yang jauh lebih besar daripada sekedar jabatan hakim konstitusi. MK itu palang pintu  penegakan hukum yang terakhir yang keputusannya final dan mengikat.Bagaimana masyarakat bisa percaya kalau ketuanya terlibat korupsi?Sekarang saja masyarakat mempertanyakan bagaimana dengan keputusan-keputusan yang lalu yang mungkin saja ada indikasi korupsinya, bagaimana nantinya sementara tidak ada lembaga banding,” tambahnya.

Para hakim konstitusi diharapkan bisa menunjukkan sikap kenegarawanan mereka demi merebut kembali kepercayaan masyarakat. “Saya kira lebih baik mereka mundur dulu.Kalau mereka masih mau menjabat maka mereka bisa maju lagi.Tentunya dengan tetap melalui rangkaian proses pemilihan. Mundurnya mereka juga sebagai pertanggungjawaban kolektif diantara mereka,” tegasnya.

Lebih lanjut Surya juga meminta agar perlu dilakukan seleksi yang benar-benar bisa lepas dari berbagai kepentingan di masa datang. MK menurutnya juga perlu diawasi dan perlu ada lembaga yang mengkontrol MK dan tidak seperti sekarang.

“Keputusan MK itu final dan mengikat. Kalau keputusannya salah apalagi kesalahannya itu disengaja karena pengaruh suap dari pihak yang berperkara, maka keputusan yang salah itu tidak bisa diubah. Makanya yang jadi hakim konstitusi itu nantinya benar-benar orang yang independen.'' cetusnya.

Maka, kata dia,  mutlak ada sebuah lembaga yang bisa mengawasi MK. Bukan hanya itu Ke depan juga perlu dipertimbangkan adanya putusan banding sehingga keputusan MK masih bisa dikoreksi.

”Ingat kalau keputusan MK itu sifatnya absolut, maka kalau salah kan juga absolut. Menjadi sangat berisiko dan berbahaya bagi keberadaan bangsa bila kesalahan keputusan tersebut disengaja,” tegasnya.

Menurut dia, setelah para hakim itu mundur maka perlu dilakukan seleksi untuk memilih hakim konstitusi baru yang benar-benar berkualitas. Dan bersamaan dengan itu harus pula dibangun sebuah lembaga yang mengkontrol integritas MK.

“Adanya lembaga yang mengawasi perilaku hakim MK sangat penting sebab keputusan  MK itu bersifat final dan mengikat. Bayangkan kalau keputusannya salah apalagi kesalahannya itu disengaja, maka keputusan MK itu meski salah juga tidak bisa diubah.Makanya yang jadi hakim disana benar-benar orang yang independen. Untuk itu maka MK harus juga ada yang mengawasi."

Kedepan menurutnya perlu juga dipertimbangkan adanya putusan banding sehingga masih bisa dikoreksi.”Kalau keputusan MK benar sifatnya absolut, itu bagus, tapi kalau salah kan juga salahnya absolut.Apalagi kalau kesalahannya disengaja,” tegasnya.

Surya juga bertanya kepada pihak-pihak yang memahami institusi MK tak perlu diawasi. "Saya berpikir kalau UUD saja yang dijadikan landasan oleh MK dalam mengambil keputusannya bisa diubah, kok keputusan MK yang menjadi turunannya tidak bisa diubah. Maka hal inilah harus didiskusikan kembali,” tegas Suryadharma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement