REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika
Kolonel CPM Maulwi Saelan baru saja menunaikan shalat Shubuh ketika telepon rumahnya berdering. Pagi itu 1 Oktober 1965 sekitar pukul 05.10, Kombespol Sumirat mengabarkan kepadanya soal informasi penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II, Leimena dan rumah Menhankam/Kasab, Jenderal A.H. Nasution.
Sumirat meminta Saelan mengecek kebenaran informasi yang didapatnya dari intel Komdak Jaya (Polda Metro Jaya) Kombespol. Anwas. “Baiklah nanti saya cek,” kata Saelan kepada Sumirat.
Selang 20 menit yakni pukul 05.30 Sumirat kembali menelpon. Dia mengabarkan penembakan juga terjadi di rumah Menteri Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani dan Jendral D I Pandjaitan. Tapi tak lama setelah telepon ditutup Sumirat kembali mengontak. Dia mengatakan tidak ada penembakan di rumah Omar Dhani, namun ada banyak pasukan tidak dikenal yang berjaga di sekitar Istana Merdeka.
“Baiklah saya akan mengecek lagi dan saya segera mencari bapak,” ujar Saelan.
Pukul 05.45 Kapten Inf. Suwarno, Komandan Kompi I Yon IKK Resimen Cakrabirawa datang ke rumah Saelan mencari Bung Karno.
“Bapak di mana?” kata Suwarno. Mendengar pertanyaan Suwarno Saelan terkejut. Pasalnya tadi malam dia sendiri yang mengantar Bung Karno ke Istana Merdeka usai menghadiri acara Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Gelora Bung Karno.
“Apakah bapak tidak di istana?” Saelan bertanya balik.
“Tidak ada.”
“Baiklah, kita cari bapak,” pungkas Saelan.
Pengalaman bertahun-tahun mengawal Bung Karno membuat Saelan mengerti kebiasaan Bung Karno. Menurutnya bila Bung Karno tidak ada di istana maka kemungkinan besar Bung Karno bermalam di rumah Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso atau di rumah Haryati di Grogol. Saelan memutuskan pergi ke Grogol. Sesampainya di sana ternyata Bung Karno tidak ada. Cepat-cepat dia meninggalkan rumah Haryati menuju Wisma Yaso.
Baru sampai di jalan besar Saelan melihat kendaraan jip Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Cakrabirawa yang dilengkapi pesawat Lorenz (radio transmitter). Dia langsung mengontak Komandan DKP Cakrabirawa Kompol. Mangil yang selalu bertugas menjaga Bung Karno. Dari Mangil Saelan tahu bahwa Bung Karno sedang mendekati air mancur di Jalan Budi Kemulian menuju Istana Merdeka. Saelan langsung mencegah. Dia mengingatkan ada pasukan tidak dikenal di sekitar istana dan meminta iring-iringan presiden berbalik arah menuju Grogol.
“Saya menunggu di sana,” kata Saelan.
Sekitar pukul 07.00, Bung Karno bersama pengawal tiba di Grogol. Saelan segera melaporkan informasi yang dia terima dari Kombespol Sumirat. Mendengar ada penembakan di rumah para jendral Bung Karno terkejut.
“Wah Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Apa yang kamu mau aku lakukan?),” tanya Bung Karno sambil terperangah
“Sementara kita di sini dahulu pak. Kami segera mencari keterangan dan kontak dengan Panglima Angkatan dan Kodam Jaya, serta menanyakan situasinya,” jawab Saelan.
“Tapi kita tidak bisa lama di sini,” sanggah Bung Karno.
“Memang betul pak. Sebagai alternatif kami akan mencari tempat lain,” kata Saelan.
Dari hasil diskusi dengan Mangil dan Letnan Kolonel (tituler) Suparto (sopir Bung Karno), disepakati Bung Karno akan dibawa ke rumah kenalan Mangil di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan memerintahkan anggota DKP menyiapkan kedatangan Bung Karno (sterilisasi area) dan memerintahkan Suparto mengontak Panglima Kodam Jawa dan Panglima Angkatan Bersenjata untuk mencari informasi apa yang sesungguhnya terjadi.
Sekitar pukul 08.30 Suparto datang membawa laporan. Dia mengatakan telah mengontak Panglima AURI, Omar Dhani yang sedang berada di Halim Perdanakusuma. Menurutnya di sana sudah ada pesawat Jetstar yang siap digunakan Bung Karno. Kabar Suparto langsung dilaporkan Saelan kepada Bung Karno.
Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 09.00 Bung Karno dan rombongan berangkat menuju Halim Perdanakusuma dan tiba di lokasi setengah jam kemudian. Di Markas Komando Operasi (Koops) Halim Perdanakusuma telah menunggu Omar Dani dan Leo Watimena. Di ruangan Koops, Omar Dani melaporkan situasi yang terjadi.
Sekitar pukul 10.00 Wakil Komandan Gerakan 30 September (G30S) Brigadir Jendral Supardjo tiba di Koops Halim Perdanakusuma. Dia meminta Bung Karno mendukung aksi penculikan dan penembakan terhadap sejumlah jendral yang dilakukan tadi malam. Bung Karno menolak. Dengan tegas dia meminta Supardjo menghentikan aksi.
“Ketika Brigjen Supardjo meninggalkan Koops wajahnya lesu dan tampak kecewa sekali,” kenang Saelan.
Saelan menjelaskan fakta penting bahwa Bung Karno tidaklah mengetahui gerakan penculikan jendral yang dilakukan Letkol Untung Samsoeri. Hal ini misalnya terlihat dari pernyataan spontan yang disampaikan Bung Karno ketika mendengar kabar penculikan jendral dari Saelan.
“Bung Karno terkejut dan spontan mengatakan Ik ben overrompeld,” kata Saelan. Menurut Saelan jika Bung Karno telah mengetahui operasi G30S Untung Cs, maka reaksi yang dikeluarkan Bung Karno tidak mungkin seperti itu.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah kedatangan Bung Karno ke Halim Perdana Kusuma. Dari penjelasan Saelan terungkap bahwa kedatangan Bung Karno ke Halim tidak pernah direncanakan. Pilihan itu murni karena pertimbangan keselamatan lantaran di Halim terdapat pesawat Jetstar yang bisa membawa presiden kemana saja apabila terjadi hal-hal tak diinginkan.
Dengan demikian, spekulasi tentang kerja sama antara Bung Karno dan pelaku G30S yang bermarkas di sekitar Halim telah terbantahkan. Hal ini dipertegas dengan sikap Bung Karno yang meminta Supardjo selaku wakil komandan gerakan G30S menghentikan aksinya.
“Yang benar, Presiden Soekarno tidak tahu sama sekali peristiwa penculikan 1 Oktober 1965 subuh. Justru Presiden RI baru tahu adanya persitiwa tersebut setelah kami cegat dalam perjalanan menuju Istana Merdeka dari Slipi dan saat itu dia terperangah,” kata Saelan.