REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Meskipun Malioboro dan Pasar Beringharjo menjadi ikon penjualan batik di Yogyakarta, namun menurut Ketua Paguyuban Batik Sekar Jagad Yogyakarta Larasati Suliantoro, kain dan baju yang dijual di pusat wisata Kota Yogyakarta tersebut bukan batik.
"Apa yang dijual di seluruh Malioboro itu bukan batik, di Pasar Beringharjo bukan batik. Itu printing bukan batik," ujarnya disela-sela peringatan Hari Batik Nasional di Monumen Batik Titik Nol Yogyakarta, Rabu (2/10).
Puluhan siswa dari SMSR dan SMP Stelladuce I Yogyakarta membatik bersama dan memperagakan baju hasil karya batik mereka di monumen tersebut pada acara itu.
Dikatakan Larasati, hal yang sama juga terjadi Pekalongan. Sebagai sentra batik di Jawa Tengah Utara, Pekalongan juga sudah didominasi batik printing bukan batik tulis.
Sebab, menjamurnya batik printing ini maka lambat laun ahli batik di Pekalongan beralih profesi menjadi tulang batu dan penjual makanan.
"Batik printing satu jam saja sudah mendapat puluhan meter kain, kalau batik tulis satu lembar kain belum tentu jadi," katanya menjelaskan.
Kondisi ini menurut dia, sangat memprihatinkan. Sebab, pihaknya mengajak semua elemen untuk kembali memasyarakatkan batik tulis sebagai batik asli Yogyakarta.
Salah satunya menurut dia adalah mengajak siswa sekolah untuk bisa membatik sendiri dan menggunakan hasil karyanya sebagai seragam sekolah.
Hal ini kata dia sangat penting. Sebab tahun ini batik menjadi ikon unggulan nomer satu dari Pemerintah Daerah (Pemda) DIY untuk mengusulkan Kota Yogyakarta sebagai kota volk art and craft ke UNESCO.
Selain Yogyakarta ada tiga kota lain yang diusulkan masuk ketegori kota tersebut ke badan dunia yang membidangi kebudayaan ini. Ketiga kota tersebut adalah, Pekalongan, Bandung dan Solo.
Hal senada diungkapkan, adik Sultan Yogyakarta KGBH Prabukusumo. Sebab untuk mengembangkan kembali batik tulis Yogyakarta, pihaknya mengusulkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) DIY agar dibangun labolatorium batik di setiap kabupaten/ kota.
Labolatorium batik ini diperuntukkan bagi masyarakat umum bukan hanya siswa dan mahasiswa saja. "Harapannya dengan dana keistimewaan DIY bisa dibangun labolatorium batik di setiap kabupaten/ kota," ujarnya.
Melalui labolatorium ini semua elemen masyarakat secara berkelompok bisa setiap saat datang dan langsung praktek membatik. Harapannya, hasil karya mereka nanti bisa disalurkan agar memiliki nilai ekonomi tersendiri.
"Membuat labolatorium batik itu tidak mahal, karena satu kompor bisa digunakan banyak orang. Jadi membatik tulis itu tidak mahal," katanya menjelaskan.
Selain itu kata dia, budaya gemar membatik juga harus mulai diterapkan sejak dini. Karenanya pihaknya juga mengusulkan agar ada sertifikasi membatik bagi siswa lulusan sekolah dasar di DIY.
"Tetapi ini hanya usulan, semua kebijakan ada di Pemda DIY. Dan itu bisa dilakukan menggunakan dana keistimewaan," katanya menambahkan.
Melalui hal tersebut, Pemda DIY juga bisa menanamkan rasa bangga pada setiap siswa untuk menggunakan karya batik tulis bukan printing. Dengan begitu diharapkan batik printing akan mulai ditinggalkan.
Kepala Sekolah SMP Stelladuce I Yogyakarta, Listyawati mengatakan, di sekolahnya sudah ada labolatorium membatik yang diperuntukkan bagi para siswa. Untuk mendirikan labolatorium membatik sendiri tidak dibutuhkan dana yang besar.
"Asal ada tempatnya, membeli alat membatik sangat murah," katanya menjelaskan.
Bahkan kata dia, untuk para siswa di sekolahnya sudah berhasil membuat beberapa baju batik sendiri. "Bahkan mereka bangga mengenakan hasil karya mereka sendiri," tuturnya.