REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG TIMUR -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerduli dan pemerhati satwa menyepakati standarisasi survei populasi badak untuk memastikan jumlah dan keberadaan hewan langka itu di Indonesia.
Spesies Specialist World Widelife Found for Nature Indonesia (WWF-Indonesia) Sunarto di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Ahad (29/9), mengatakan ada tiga metode standarisasi survei yang sangat diperlukan karena sampai saat ini belum dapat memastikan jumlah pasti hewan langka itu.
Kesepakatan itu, kata dia, hasil workshop bersama Yayasan Badak Indonesia (Yabi), Word Conservation Society (WCS), Forum Konservasi Lauser (FKL), Yayasan Louser Internasional (YLI),Peduli Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), International Rhino Foundation (IRF) yakni dengan pemasangan kamera perangkap (kamera trap), analisis genetik (DNA), dan okupansi atau menjelajah untuk melihat spot-spot keberadaan badak itu.
Tiga metode survei tersebut, katanya, cukup optimal untuk mengetahui jumlah populasi badak yang ada di sejumlah pusat hunian, seperti di Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Ujung Kulon.
Survei tersebut, ujarnya, sangat diperlukan agar jangan sampai terjadi kasus yang sama di Sabah, Malaysia yang memperkirakan populasi badak masih berkisar ratusan ekor namun ternyata hanya tinggal dua ekor. Selain itu, upaya ini untuk mendukung strategi dan rencana aksi konservasi badak oleh Pemerintah yang menargetkan kenaikan populasi badak Indonesia sebanyak tiga persen per tahun mulai dari 2007 hingga 2017.
Saat ini, lanjut dia, hanya terdapat lima spesies badak yang masih tersisa di dunia, dan dua di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis). Kedua spesies ini dikategorikan sebagai satwa liar berstatus kritis terancam punah. "Di Ujung Kulon hanya tersisa sekitar 50 individu, sedangkan badak sumatra hanya tinggal 120--200 individu," kata Sunarto.