Senin 23 Sep 2013 06:30 WIB
Resonansi

Belajar Islam Kok di Indonesia?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri

Dalam sebuah diskusi santai di Jakarta beberapa hari lalu sejumlah teman mencibir ketika saya katakan Indonesia merupakan tempat yang paling baik untuk belajar tentang Islam. Seorang teman berujar, ''Belajar Islam kok di Indonesia? Belajar Islam yang paling top marketop ya di pusatnya sana.''

'Di pusatnya sana' yang dimaksud tentu saja negara-negara Arab, wabil khusus Makkah dan Madinah. Argumentasinya, Alquran dan Hadis berbahasa Arab. Juga rujukan-rujukan ajaran Islam yang ditulis para ulama salaf. Teman lain menambahkan, di Arab itu gudangnya para ulama, dari dulu hingga sekarang. Ia pun menyebut sejumlah ulama top salaf hingga kontemporer. Ulama yang mempunyai spesialisasi di bidang ilmu tertentu hingga ulama yang mengeluarkan fatwa mengenai segala macam persoalan.

Diskusi sersan alias serius tapi santai itu untuk merespon dua tulisan saya di rubrik resonansi ini. Yang pertama, 'Robohnya pusat studi Islam kami di Timur Tengah' dan yang kedua adalah 'Perlukah belajar Islam ke Timur Tengah?'. Tulisan pertama berisi peran pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah yang telah berjasa mencetak mahasiswa-mahasiswa Indonesia menjadi ulama dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Namun, instabilitas dan konflik yang kini mewarnai sejumlah negara Arab dikhawatirkan akan membawa dampak buruk pada kualitas pendidikan dan pengajaran di kampus-kampus Islam tersebut.

Tulisan kedua berkisar soal perebutan kekuasaan dan konflik di negara-negara Arab telah menyeret sejumlah ulama terpandang untuk 'saling serang' antara yang membela dan menentang sebuah rezim penguasa. Atau dengan kata lain, agama dijadikan untuk menjustifikasi tentang pembelaan atau penentangan terhadap kekuasaan. Fatwa 'saling serang' itu pada gilirannya telah memecah-belah umat. Tulisan itu menggarisbawahi bahwa saling serang dalam fatwa itu dikhawatirkan akan berpengaruh ke Indonesia. Tentu kalau hanya perbedaan fatwa adalah lumrah. Namun, bila fatwa-fatwa itu menyebabkan darah sesama umat mengalir seperti di Mesir dan Suriah adalah sangat disesalkan.

Karenanya dalam diskusi itu saya mengatakan saat ini Indonesia merupakan tempat yang paling baik untuk belajar Islam. Saya berargumentasi para tokoh Islam pendiri negara ini adalah para ulama dan sekaligus negarawan. Untuk menghindari perpecahan dan menjaga keutuhan NKRI, mereka bisa bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Memang, sebagai konsekuensinya, Indonesia bukanlah negara Islam. Tapi, Indonesia juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara pluralistik (bhinneka tunggal ika).

Semua pemeluk agama bebas menjalankan ajaran agamanya, dengan syarat saling menghormati antar-pemeluk agama. Negara berperan menjaga dan menjamin semua pemeluk agama bebas untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Tentu saja agama yang telah diakui oleh negara. Dalam konteks Islam, di sinilah justeru tugas ulama, kiai, ustad, dan tokoh-tokoh Islam lainnya untuk fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba memahamkan dan mengajarkan Islam kepada masyarakat tentang pentingnya menjalankan ajaran agama secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Juga tugas para politisi Muslim untuk memayungi umat dengan perangkat undang-undang serta aturan yang tidak bertentangan dengan Islam.

Selanjutnya, dalam diskusi itu juga saya katakan Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan negara terbesar ketiga yang menerapkan sistem demokrasi, lengkap dengan lembaga-lembaga negara sebagai perangkat penyelesaian segala persoalan. Karena itu laiklah negara-negara Islam belajar demokrasi ke Indonesia

Selain itu Indonesia juga merupakan gudangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Terdapat ribuan pesantren dari yang tradisional hingga modern, dari pesanten anak-anak hingga mahasiswa. Puluhan ormas Islam mengelola sekolahan dari TK hingga universitas. Ribuan sekolah Islam, baik yang dikelola negara maupun masyarakat. Juga terdapat puluhan universitas Islam negeri dan swasta. Termasuk pusat-pusat studi Islam di kampus-kampus umum. Ulamanya pun sangat mumpuni. Mereka selain berilmu tinggi juga berwawasan kenegarawanan.

Berikutnya saya kutipkan tentang keluhan Ketua Dewan Mufti Rusia, Grand Mufti Ravil Gainutdin, kepada KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, saat delegasi Interfaith Dialugue Indonesia berkunjung ke Rusia empat tahun lalu. Menurut Gainutdin, anak-anak muda Islam Rusia yang dikirimkan belajar ke negara-negara Arab, terutama ke Negara Teluk, ketika lulus dan pulang ke negaranya pada umumnya sangat eksklusif. Tertutup. Mereka, lanjutnya Gainutdin, sepertinya ingin 'memindahkan' kehidupan masyarakat Arab ke masyarakat Rusia.

Menanggapi keluhan Grand Mufti Rusia itu, KH Hasyim Muzadi pun mengatakan untuk masyarakat yang pluralistik seperti Rusia belajar Islam yang paling baik adalah ke Indonesia. ''Rusia adalah negara plural seperti Indonesia. Bedanya, mayoritas penduduk Indonesia Muslim, sedangkan mayoritas penduduk Rusia Kristen Ortodoks. Dengan begitu para mahasiswa Rusia yang belajar Islam di Indonesia tidak akan canggung lagi ketika pulang ke negaranya,'' ujar KH Hasyim Muzadi.

Bila mahasiswa Rusia belajar ke negara Arab, apalagi yang mono agama, Kiai Hasyim khawatir setelah belajar sekian tahun dan kemudian pulang ke negaranya mereka akan memakai 'kaca mata kuda'. Mereka akan melihat permasalahan di masyarakat hanya hitam putih, halal haram, boleh atau tidak boleh, dan seterusnya. Padahal dalam berdakwah kita harus lebih bijaksana. Tidak bisa melihat segalanya dengan hitam putih.

Kabarnya kini ada ratusan mahasiswa Islam Rusia yang belajar di Indonesia. Juga mahasiswa-mahasiswi dari Eropa Timur, terutama dari bekas pecahan negara komunis Uni Sovyet. Mereka belajar di UIN dan juga sekolah-sekolah dan pesantren yang dikelola oleh NU dan Muhammadiyah.

Kalaupun ada kekurangan mengenai belajar Islam di Indoensia, kata saya dalam diskusi tersebut, adalah belum banyak lembaga-lembaga pendidikan kita yang menggunakan bahasa pengantar Arab maupun Inggris. Juga belum banyak buku yang ditulis ulama Indonesia dalam dua bahasa tersebut, sehingga pemikiran dan fatwa-fatwa mereka kurang dikenal oleh masyarakat dunia.

Pada akhirnya saya menyampaikan belajar Islam itu bisa di mana saja. Namun yang perlu digarisbawahi ilmu yang dipelajari harus bermanfat buat umat dan masyarakat pada umumnya. Wallahu a'lam bisshawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement