REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan penyimpangan lelang pencetakan dan distribusi bahan Ujian Nasional 2012 dan 2013 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 6,3 miliar. "Kami menemukan hal-hal yang fiktif, ada kerugian negara meskipun tidak sedahsyat apa yang diberitakan sebelumnya," kata Anggota BPK Rizal Djalil saat konferensi pers tentang ujian nasional di Jakarta, Kamis (19/9).
Rizal juga menyebutkan negara juga mengalami kerugian akibat penyimpangan proses lelang pada 2012 senilai Rp 8,2 miliar. Sementara itu, lanjut dia, penyimpangan dalam pengelolaan keuangan penyelenggaraan UN 2012 dan 2013 mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 2,6 miliar yang terdiri dari pemotongan belanja sebesar Rp 888 juta dan kegiatan fiktif atau "mark-up" sebesar Rp 1,7 miliar.
Rizal menjelaskan penyimpangan tersebut, seperti pengelolaan keuangan penyelenggaraan UN, proses lelang pencetakan, termasuk distribusi bahan UN 2012 dan 2013 terjadi karena Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang dinilai belum efektif dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, dia menilai, koordinasi antara BNSP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta pemerintah daerah belum optimal dalam menentukan porsi pembiayaan penyelenggaraan UN yang ditanggung APBN dan APBD. "Jadi, pusat menganggarkan, daerah juga menganggarkan. Ini kan sangat potensial untuk terjadinya penyimpangan," katanya.
Dia menyebutkan kondisi tersebut mengakibatkan potensi duplikasi anggaran APBN dan APBD sekurang-kurangnya sebesar Rp 62,3 miliar dan dana penyelenggaraan UN per 31 Mei 2013 di daerah yang masih dalam rekening bendahara dan belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp 51,2 miliar. Selain itu, Rizal mengatakan hasil pemeriksaan juga menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan dalam mengantisipasi pengaruh perubahan jumlah varian soal dari lima varian soal pada 2012 menjadi 20 varian soal pada 2013.
"Soalnya terlalu banyak varian, sementara rentang waktu yang diperlukan sangat sempit untuk proses pencetakan dan distribusi naskal soal UN ke lokasi pelaksanaan UN yang tersebar di seluruh Indonesia," paparnya.
Menurut dia, pengawasan terhadap proses pencetakan dan distribusi naskah soal juga dinilai tidak optimal dalam memberikan peringatan dini terhadap keterlambatan pencetakan dan distribusi naskah UN. "Kondisi ini menimbulkan kekisruhan penyelenggaraan UN tahun 2013 sekurang-kurangnya di 11 provinsi serta bertambahnya biaya fotokopi lembar jawaban serta terlambatnya proses pemindaian dan penilaian hasil UN," terangnya.
Karena itu, BPK merekomendasikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh untuk melaksanakan perencanaan, koordinasi, monitoring, supervisi, evaluasi UN melalui penyelanggara UN tingkat pusat dan menyerahkan teknis penyelenggaraan UN kepada pemerintah yang bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. "Kami langsung bicara dengan menterinya, dengan Komisi X DPR dan sudah merespon secara tertulis sejak satu bulan yang lalu. Pak menteri intinya sudah menerima hasil pemeriksaan kita," kata Rizal.
Dia mengatakan BPK juga bersedia menyerahkan data-data apabila diperlukan untuk proses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian ataupun kejaksaan.