REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Mantan Mentan, Prof Sjarifudin Baharsjah, menilai pembenahan sektor pertanian harus dimulai dari pembenahan politik pertanian. Sebab menurut dia, tanpa politik pertanian terpuruk dan terjadi pembusukan.
Dalam Diskusi Reposisi Politik Pertanian, Selasa (17/8), menjelaskan awal pudarnya politik pertanian justru pada gemerlapnya pertanian saat swasembada beras 1984. "Bapak Bangsa merasa aman, merasa pertanian bisa mencukupi. Ternyata pertanian justru turun," kata Sjarifudin.
Pada tahun 90-an Indonesia dibuai harga minyak tinggi. Kemerosotan harga minyak yang tiba-tiba membuat bangsa ini kesulitan dan mencari bantuan dana.
Dengan bantuan dana asing, IMF dan IGGI memaksa Indonesia membuka ekonomi kepada asing. "Pasar swalayan kecil di kampung yang mematikan warung kecil. Mereka tidak lain hanya kaki tangan peraup keuntungan," katanya menegaskan.
Pendapatan pekerja pertanian lebih rendah dari pekerja industri juga menimbulkan kesenjangan, bahkan makin melebar. Ini menyeret warga bangsa di pedesaan kepada kemiskinan.
Ia mengatakan reposisi politik pertanian perlu segera dilakukan dengan penstabilan harga pangan murah dan pengkondusifan suasana pertanian untuk memperbesar ekspor. Petani juga harus dijamin akses lahan, air dan permodalannya.
Kekuatan petani harus dikembalikan, termasuk di dalamnya pengembalian kearifan lokal. Pengembalian efektifitas penyuluh pertanian juga penting. Penyuluh pertanian saat ini kontrak selama dua tahun. Dua tahun kurang cukup untuk membangun kepercayaan petani kepada penyuluh.
Jadikan pengusahan menjadi pemangku kepentingan. Pengusaha dalam negeri tentu ingin produknya kompetitif dengan bangsa lain sehingga mereka akan mengupayakan perkembangan.
Peningkatan kualitas SDM di semua lini, dari peneliti hingga petani serta hilangkan distorsi pasar. Impor tidak menguntungkan petani dan hanya meninggalkan distorsi pasar. "Perlu diingat, politik pertanian merupakan amanat konstitusi," kata Sjarifudin menegaskan.
Ia berpandangan swasembada bukanlah tujuan, tapi usaha pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Tidak lagi saatnya bangsa ini mengandalkan rice estate untuk peningkatan produksi pangan.