REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Kementerian Pertanian (Kementan) terus memantau laporan kekeringan di sejumlah daerah. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) menyebutkan dari Januari hingga Juni tercatat sebanyak 46.800 hektare (ha) gagal panen atau puso. Namun puso akibat kekeringan hanya seluas 328 ha atau 0,004 persen.
"Sebagian gagal panen terjadi akibat banjir," ujar Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, Senin (16/9).
Wamentan mengatakan kekeringan sudah mencapai puncak di April. Namun anomali cuaca menyebabkan kemarau masih dihinggapi hujan atau kemerau basah. Kondisi ini menguntungkan bagi jenis tanaman sela, termasuk jagung dan kedelai.
Luas kekeringan saat ini dikatakan jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. "Ada proses dimana kita bisa menyelamatkan tanaman sebelum gagal panen," ujar Wamentan.
Ada tiga hal yang bisa menyebabkan gagal panen, yaitu banjir, kekeringan dan organisme penggangu tanaman (OPT). Apabila kekeringan terjadi menjelang masa panen, rendeman gula, misalnya masih bisa diselamatkan dengan melakukan panen dini. Namun apabila banjir yang menerjang, maka semua lahan tidak akan selamat.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya awal menangai kekeringan. Pertama, dengan memaksimalkan sumber air yg ada menggunakan pompa air.
Kedua, lebih memaksimaklan sumber air dari embung di kawasan pertanian. "Jadi embung seukuran kolam kami fungsinkan untuk mengisi cadangan air," ujar Wamentan.
Apabila terjadi gagal panen, Kementan siap memberikan kompensasi bagi petani yang ikut asuransi. Nantinya petani bisa menggunakan uang penggantian asuransi untuk membeli lahan seluas 1,7 juta ha.