REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Melemahnya nilai tukar rupiah sejak sebulan terakhir diprediksikan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terganggu. Bahkan pertumbuhan ekonomi DIY diproyeksikan mengalami pelambatan di triwulan ketiga dan keempat.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta, Arief Budi Santoso mengatakan, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di DIY akan terkoreksi tipis di akhir tahun. "Di awal tahun pertumbuhan ekonomi DIY antara 5-6 persen. Namun jumlah ini diperkirakan melambat diakhir tahun menjadi 4,5 hingga 5,5 persen," ujarnya di Kantor Perwakilan BI, Senin (16/9).
Namun kata dia, pertumbuhan ekonomi DIY pada triwulan kedua cukup bagus yaitu 5,71 persen sedikit membaik dari triwulan satu yang hanya 5.06 persen. Namun pertumbuhan tersebut akan terkoreksi melambat di akhir tahun. Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini menurut Arief juga berlaku secara nasional. Secara nasional pertumbuhan ekonomi juga teroreksi dari 5,8-6,2 persen terkoreksi menjadi 5,5 persen.
Diakui Arief, melemahnya nilai tukar rupiah akan berdampak pada pendanaan perbankan. Karena ada kecenderungan bunga kredit mengalami kenaikan. Hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan jumlahg kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
Sementara itu Asisten Direktur BI DIY, Djoko Raharto mengatakan, melambatnya pertumbuhan ekonomi DIY di akhir tahun ini selain disebabkan karena melemahnya nilai tukar rupiah juga karena melambatnya sektor pertanian. Secara tidak langsung melemahnya nilai tukar rupiah juga memperlambat pertumbuhan industri dan sektor bangunan di DIY. "Ini akan berpengaruh pada melembatnya pertumbuhan ekonomi DIY di akhir tahun," jelasnya.
Namun kata Djoko, saat ini kondisi usaha di Yogyakarta masih belum terpengaruh oleh melemahnya nilai rupiah tersebut. Karena kata dia, sebagian besar kalangan usaha di Yogyakarta menggunakan bahan baku lokal bukan import.
Begitupula terkait pembiayaan di bidang usaha oleh pihak perbankan. Hingga Juli 2013 lalu jumlah kredit usaha bagi UMKM di DIY mencapai Rp 11 triliun dari total kredit perbankan sebanyak Rp 24 triliun.
Pihaknya kata Djoko juga memproyeksikan inflasi di Yogyakarta pada bulan September ini akan mengalami penurunan. Pasalnya, tekanan inflasi dari dampak kenaikan harga BBM sudah berkurang. "Harga kedelai sudah turun. Namun harus diwaspadai kenaikan lainnya yang memiliki kandungan inport.," jelasnya.
Ditambahkan Arief, UMKM akan lebih kuat terhadap tekanan melemahnya nilai tukar rupiah dibandingkan usaha skala besar. Hal ini telah terbukti pada krisis ekonomi 1998-1999 lalu. Karenanya, melemahnya nilai tukar rupiah saat ini diperkirakan tidak akan berpengaruh besar pada UMKM di DIY. "Dampaknya pada UMKN saya belum lihat, karena saya justru melihat bahwa UMKM ini justru lebih tahan pada krisis," tegasnya.