Jumat 13 Sep 2013 16:04 WIB

Dipecat Sepihak Karena Protes Larangan Shalat, Buruh Minta Keadilan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Citra Listya Rini
Muslimah shalat (ilustrasi).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Muslimah shalat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus buruh bernama Lami, pekerja pabrik garment milik Korea, PT. Miyunsung Indonesia, yang dipecat sepihak karena memprotes larangan shalat oleh direktur perusahaan, Hary Kim, 20 Juli 2013 lalu, terus berlanjut. 

Setelah melaporkan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kali ini Lami bersama tim advokasi dari Kontras menyambangi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta. Lami ingin kembali bekerja dan mendapatkan keadilan atas perlakuan yang diterimanya pada saat bulan Ramadhan kemarin.

Lami ditemani sahabat-sahabatnya dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Koordinator Kontras, Usman Hamid dan Kepala Divisi Bidang Advokasi Hukum dan HAM Kontras, Yati Andriani. Mereka mendatangi Dinakertrans DKI Jakarta. Kedatangan mereka untuk mendapatkan langkah keadilan dari pemerintah atas PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.

"Saya disini ingin mendapatkan keadilan bagaimana status saya, karena saya masih ingin bekerja. Sedangkan sejak saya mendapatkan surat peringatan PHK, akhir Juli lalu hingga saat ini kepastian hak saya belum diterima," katanya sesaat berdialog dengan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans DKI Jakarta, Jumat (13/9). 

Ia pun berharap kepada Disnakertrans DKI Jakarta dapat memediasi kasus ini untuk memberi sanksi kepada pihak perusahaan. Lami menilai pihak perusahaan sudah semena-mena dengan membatasi kebebasan pekerjanya beribadah terutama di bulan Ramadhan. 

Ia bercerita awal mula terjadinya pembatasan aktivitas sholat tersebut. Pada 20 Juli 2013 Ramadhan lalu, kata Lami, entah mengapa perusahaan mempersingkat waktu istirahat pekerja hanya 30 menit. Sedangkan pekerja membutuhkan waktu untuk makan dan ibadah shalat dzuhur. 

Akibatnya, waktu yang terlalu singkat itu membuat pekerja berdesak-desakan untuk shalat di mushola yang sempit. Pada saat itulah Lami berinisiatif untuk melakukan sholat di  ruang detektor. Ruangan itupun tidak pernah ada peringatan sebagai ruang tertutup. 

"Saya sudah pernah sholat di Ruang detektor sebelumnya, bahkan dengan petugas pengawas ruang detektor," ujar Lami.

Namun, entah kenapa pada saat itu, ketika Lami hendak masuk untuk sholat di ruang detektor, tiba-tiba ada Direktur Perusahaan, Hary Kim. "Ia pun melarang saya shalat di situ," katanya. 

Ketika ia hanya ingin mengambil mukena yang saat itu sudah di dalam ruangan, Hary Kim pun semakin marah dan kembali melarangnya masuk hanya untuk mengambil mukena. "Ia bahkan hendak menampar saya," tuturnya. 

Kepala Divisi Bidang Advokasi Hukum dan Ham Kontras, Yati Andriani  mengatakan pihak perusahaan berpotensi melanggar Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pasal 80 tentang jaminan hak beribadah yang cukup bagi pekerja. Pihak perusahaan bisa dikenai sanksi 10 tahun penjara atau minimal empat tahun penjara dengan denda Rp 50 juta.

"Beribadah bagi pekerja adalah hak yang sudah diatur dalam Undang-Undang dan perusahaan harus tahu itu, bukan malah mempersulitnya," ia menegaskan. Sebelumnya, Lami dan tim advokasi dari Kontras sudah mendatangi Komnas HAM namin hingga saat ini belum ada tindak lanjut oleh Komnas HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement