REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta agar tidak bersikap ambigu untuk memberikan perlindungan nasib petani lokal.
Sejauh ini muncul sinyalemen pemerintah masih terkesan bersikap dua hati ketika sudah menghadapi persoalan yang berakibat dari adanya gejolak harga pangan impor.
Hal ini disampaikan Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera. Ia mengatakan adanya gejolak harga kedelai telah membuat pemerintah tampak ambigu.
"Di satu sisi pemerintah begitu gencar untuk mengampanyekan kontrol terhadap masuknya produk impor. Tapi di sisi yang lain, pemerintah justru tak berdaya untuk melawan membanjirnya produk pangan impor ketika terjadi gejolak harga produk pangan. Kondisi inilah yang terjadi sekarang pada gejolak harga kedelai," kata Tejo dalam perbincangannya kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/9).
Pada satu sisi, Tejo melihat gejolak harga kedelai ini telah memberikan keuntungan kepada para petani kedelai lokal. Namun ia tak menutup mata jika para produsen tahu dan tempe justru sekarang ini tengah menghadapi persoalan dengan melambungnya harga.
Ia mengatakan, meningkatnya harga kedelai para produsen tahu dan tempe itu tak lepas dari penggunaan kedelai impor yang begitu membanjiri produk dalam negeri.
"Nah sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah menghadapi persoalan ini. Apakah akan kembali membebaskan produk impor itu membanjiri pasar kita?" tutur alumnus Universitas Gadjah Mada ini.
Tejo mengatakan saat ini begitu sulit untuk menafikan derasnya produk pangan impor yang masuk ke dalam negeri. Namun upaya untuk membendung hal tersebut, kata dia, sebenarnya bisa dilakukan.
Di antaranya dengan menumbuhkan kesadaran kaum menengah yang tinggal di perkotaan agar tidak memakai produk pangan impor serta adanya kemauan kuat dari pemerintah dalam melindungi petani lokal.
Kesadaran ini, kata Tejo, menjadi bentuk kesadaran konsumen beretika. Sebagai perwujudannya adalah mendorong masyarakat untuk melakukan positif buying.
Positif buying, sambungnya lagi, adalah sebuah bentuk kesadaran keberpihakan di tingkat konsumen dalam memilih produk pangan yang hendak dikonsumsi.
"Di sini konsumen diberikan pilihan apakah ingin tetap mengonsumsi produk impor yang akan mematikan jutaan nasib petani lokal atau lebih memilih untuk mengonsumsi pangan lokal yang nantinya akan berdampak besar kepada kelanjutan hidup para petani kita," paparnya.
Selama bergulat di isu pangan, Tejo mengakui masih sangat minim kesadaran untuk menumbuhkan sikap positif buying para konsumen perkotaan ini.
Jika gerakan positif buying ini bisa diadopsikan ke dalam bentuk kurikulum pendidikan di perguruan tinggi, ia mengatakan, "Bukan tak mungkin persoalan yang selama ini masih membelit nasib petani kita akan bisa memiliki masa depan yang lebih terarah dan lebih baik."