REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan minuman keras dan minuman beralkohol (miras dan minol) harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.
Dalam konteks itu, rancangan undang-undang (RUU) tentang Pengaturan dan Pengendalian Miras dan Minol yang saat ini sedang dibahas di DPR harus mendapat dukungan masyarakat. "Ada anggapan geran anti miras hanya kepentingan umat Islam. Sebenarnya ini bukan hanya kepentingan umat Islam," kata Ketua Umum Gerakan Nasional Antimiras, Fahira Idris di ruang Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kompleks Parlemen Senayan, Senin (9/9).
Fahira mengatakan, lemahnya pengaturan dan pengendalian terhadap miras dan minol bisa mengancam kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan data kajian yang dimilikinya, setidaknya 19.800 kasus kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan tawuran yang dipicu miras dan minol.
"Indonesia sudah darurat miras. Miras adalah mesin pembunuh. Ini yang belum disadari pemerintah," ujarnya.
Pengaturan dan pengendalian miras bukan hanya menyangkut kepentingan umat Islam. Fahira mengatakan, di sejumlah daerah non-Muslim juga terdapat peraturan daerah (perda) yang melarang miras.
Di Manokwari Papua misalnya, ada perda yang sepenuhnya melarang penjualan dan peredaran miras karena menganggap Manokwari sebagai salah satu daerah masuknya Injil untuk pertamakali di Papua. "Ini membuktikan bahwa persoalan miras bukan persoalan agama," katanya.
Fahira berharap DPR bisa segera mengesahkan RUU Pengaturan dan Pengendalian Miras. Dia juga mengusulkan agar persoalan miras bisa dimasukan dalam pembahasan RUU KUHP.
Tujuannya agar aparat keamanan bisa memiliki payung hukum dalam menindak pelaku penyalahgunaan miras tanpa harus menunggu akibat negatif yang ditimbulkan. "Para polisi tidak bisa menangkap penyalah guna miras karena polisi baru bisa menindak kalau sudah ada korban," katanya.