Ahad 08 Sep 2013 21:00 WIB

DPR: Wacana Pemindahan Ibu Kota RI Masih "On-Off-On-Off"

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Heri Ruslan
Abdul Hakam Naja
Foto: Republika
Abdul Hakam Naja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi II DPR RI Abdul Hakam Naja mengatakan, pemikiran tentang pemindahan ibu kota Indonesia sebenarnya sudah lama ada di kalangan elite bangsa.

“Bahkan pascakemerdekaan di zaman Sukarno dulu, sempat muncul keinginan untuk memindahkan pusat pemerintahan negara ini ke Palangkaraya,” ujar Naja, Ahad (8/9).

Belakangan, isu ini kembali ramai setelah banjir besar melanda Jakarta beberapa waktu lalu. Jauh sebelumnya, kata dia, di Komisi II sendiri sempat pula timbul gagasan untuk membentuk panja pemindahan ibu kota.

Pemikiran itu hadir untuk meminimalkan berbagai tekanan terhadap DKI.Naja berpendapat, pemerintah perlu memikirkan sudah semestinya mempersiapkan dengan matang masterplan ibu kota baru yang akan dibangun nantinya. Begitu pula halnya dengan berbagai skenario yang berhubungan dengan pemisahan pusat ekonomi, industri, dan pemerintahan.

Ia memaparkan, beberapa model solusi yang mungkin digunakan dalam pemindahan ibu kota negara. Yang pertama adalah memindahkan pusat pemerintahan jauh dari garis pantai.

Hal ini seperti dilakukan Turki yang memindahkan ibu kotanya dari Istanbul ke Ankara, ataupun Brasil yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.

 Model ini, kata Naja, biasanya diterapkan untuk kepentingan goepolitik pertahanan dan keamanan negara yang bersangkutan.Model kedua adalah menggeser pusat pemerintahan ke daerah lain dengan tidak mengubah status pusat industri dan perekonomian ibu kota sebelumnya.

Model ini seperti dilakukan oleh Malaysia yang menggeser pusat pemerintahannya ke Putra Jaya yang jaraknya hanya beberapa puluh kilometer dari Kuala Lumpur. tidak berpindah.

“Konsep ini pernah dicetuskan Pak Harto (mantan Presiden Suharto—Red) yang sempat merencanakan pemindahan pusat pemerintahan RI ke Jonggol Bogor, Jawa Barat. Namun niat itu urung terlaksana karena berbagai sebab,” kata politikus dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu.

Sementara model ketiga adalah mengubah pola ibu kota itu sendiri. Maksudnya, jelas Naja, Jakarta tetap menjadi pusat pemerintahan, namun konsentrasi kegiatan ekonomi dan industrinya yang justru dipindahkan ke daerah lain.

Ketiga model ini, menurutnya, perlu pertimbangan serius. “Mana yang paling layak, tentunya itu butuh kajian yang komprehensif dan mendalam. Harus ada blueprint yang mantap dari pemerintah. Setelah itu baru bisa dibahas di DPR untuk kemudian dikonkretkan lewat undang-undang tersendiri.” tuturnya.

Sayangnya, kata dia lagi, wacana pemindahan ibu kota tersebut sampai sejauh ini terkesan hilang timbul. Pemerintah sepertinya masih ragu-ragu untuk menindaklanjuti rencana tersebut. “Pembahasannya masih on-off-on-off,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata diam-diam telah memikirkan kemungkinan Indonesia untuk membangun pusat pemerintahan yang baru di luar Jakarta. Bahkan, ide itu sudah dipersiapkan SBY sejak smpat tahun lalu. Ia pun dikabarkan sudah membentuk tim kecil untuk mulai memikirkan kemungkinan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement