REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 22 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diajukan oleh Perludem dan Indonesian Perliamentary Center (IPC).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Akil Mochtar, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan penentuan dapil secara nasional merupakan ranah "legal policy" pembentuk undang-undang sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan sehingga pembentuk undang-undang bebas menentukan metode penentuan dapil.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan hukumnya, menyatakan dapil merupakan salah satu unsur sistem Pemilu, dari dapil suara pemilih akan dikonversi menjadi kursi. Proses Pemilu perlu menyesuaikan kesesuaian metode pembagian wilayah nasional dengan prinsip kesetaraan suara setiap warga negara (one person, one vote, one value).
"Nilai suara setiap pemilih adalah sama dalam satu dapil, walaupun pertimbangan integrasi wilayah, kondisi geografis, dan kohesivitas penduduk tidak dapat diabaikan," kata Hamdan.
Menurut Mahkamah, persyaratan penggunaan data sensus penduduk sebagai basis data penentuan dapil merupakan urusan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.
Saat menentukan pilihan kebijakan itu, pembentuk undang-undang mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif dengan memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap dapil, katanya.
Pengujian UU Pemilu Legislatif ini diajukan oleh Perludem dan Indonesian Perliamentary Center (IPC).
Pemohon menilai Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif dinilai melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum khususnya bagi suara pemilih di setiap provinsi karena dalam lampiran UU Pemilu Legislatif itu mengandung ketidakjelasan metode penghitungan dan basis data jumlah penduduk yang digunakan untuk menentukan pengalokasian kursi di DPR.
Menurut pemohon, ketentuan alokasi kursi dalam Pemilu 2009 menimbulkan ketidakadilan atau ketimpangan antara satu daerah dengan daerah yang lain, misalnya, satu daerah pemilihan memperoleh alokasi kursi DPR berlebihan jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya (over presented). Sebaliknya, satu daerah yang besar jumlah penduduknya, memperoleh alokasi kursi lebih sedikit (under-presented).
Untuk itu pemohon meminta MK membatalkan Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945.
Atau setidaknya Pasal 22 ayat (4) harus dibaca "penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan dapil pada pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2) dengan syarat menggunakan basis data sensus penduduk sebagai basis data dalam penentuan dapil".