Rabu 04 Sep 2013 16:32 WIB

BPK Beberkan Alasan Keterlambatan Laporan Kerugian Negara Hambalang

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Ketua KPK Abraham Samad (kanan) bersama Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo (kiri) saat memberikan konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/9).   (Republika/ Wihdan)
Ketua KPK Abraham Samad (kanan) bersama Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo (kiri) saat memberikan konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/9). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengatakan, lambannya proses penghitungan kerugian negara karena secara definitif, harus diketahui unsur pidana dalam unsur kerugian negara.

Dia mengungkapkan, BPK harus tetap pro yustisia. Jadi, ujarnya, harus ada kordinasi antara penyidik KPK dan pemeriksa BPK untuk menentukan kerugian negara dalam proyek ini.

Menurutnya, DPR meminta BPK menyelesaikan laporan audit investigatif sedangkan KPK meminta laporan penghitungan kerugian negara terkait proyek Hambalang.

Mantan Dirjen Pajak itu menjelaskan, dalam laporan audit investigatif, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memang terlambat memberikannya. Setelah itu, BPK mengadakan berita acara permintaan keterangan.

Maka dari itu, laporan investigasi baru selesai pada 22 Agustus 2013 lalu yang telah dilengkapi dengan permintaan kepada pihak-pihak sebanyak 166 orang - 30 orang di antaranya merupakan anggota DPR. Pada 23 Agustus 2013, BPK menyerahkan hasil audit investigatif kepada DPR dan KPK.

Ia membantah adanya intervensi dalam laporan audit investigatif yang dilakukan BPK. Ia juga membantah adanya data yang hilang dalam laporan tersebut.

Menurutnya, usai memeriksa, pemeriksa BPK selalu melaporkan konsep laporan pemeriksaan kepada pimpinan BPK untuk disidangkan dan dicocokkan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Dalam peraturan, lanjutnya, BPK hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap perencanaan, pelaksanaanm pengawasan dan pertanggungjawaban kerugian negara. Hal ini juga sudah dimasukkan ke dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).

"LHP (Laporah Hasil Pemeriksaan) BPK hanya satu, bukan dua. Nama-nama (anggota DPR) itu bukan 15 tapi 30 orang yang ada di KKP dan KKP satu kesatuan dengan LHP. Jadi tidak ada yang hilang, hanya Undang Undang tidak memungkinkan ditaruh di LHP, tapi ditaruh di KKP. Sedangkan KKP tidak bisa diberikan oleh BPK, hanya diberikan kepada penegak hukum," tegasnya mengklarifikasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement