REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Tewasnya seorang ibu bersama dua anaknya yang ditemukan di Dusun III, Desa Sumber Gede, Kecamatan Sekampung, Lampung Timur karena dugaan bunuh diri dinilai merupakan fenomena yang marak terjadi.
Sosiolog Universitas Lampung Dr. Hartoyo mengatakan, fenomena bunuh diri di lingkungan keluarga yang tidak mampu sering terjadi belakangan ini, akibat ketidakmampuan individu dalam mengendalikan diri terhadap harapan yang ingin dibutuhkan segera.
“Salah satunya jalan pintas agar tidak malu karena tidak mampu mencapai hasratnya akhirnya bunuh diri,” kata Hartonyo kepada Republika di FISIP Unila, Kamis (4/9).
Ia mengatakan ada dua fenomena bunuh diri, yakni pertama, sistem yang ada di masyarakat tidak berfungsi. Kedua, kemampuan individu tak sebanding dengan harapannya.
Bergesernya sistem yang ada di masyarakat yang komunal kepada individualisme, membuat kontrol masyarakat berkurang bahkan tidak ada sama sekali.
“Kalau dulu, sistem komunal dikendalikan norma dan adat masyarakat setempat. Jadi, ada yang mengontrol individu tersebut, sehingga ada solusi bila ada masalah. Kalau sekarang, justru individu itu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya. Kalau tidak mampu, mereka mencari jalan pintas,” ujarnya.
Mengenai peran lembaga pemerintah setempat seperti LKMD, PKK, kepala kampung, lurah, camat, menurut Hartoyo, saat ini kurang berfungsi sama sekali. Banyak perangkat pemerintah di tingkat bawah, justru tidak mengetahui persis persoalan di lingkungannya sendiri.
“Jangankan ingin tahu kondisi masyarakat, masalah perangkat pemerintah itu sendiri masih bermasalah,” ungkapnya.
Hartoyo memberikan solusi perlunya modifikasi nilai-nilai ketokohan di masyarakat seperti era Orde Baru tahun 1970-an. Saat itu, ketokohan masyarakat masih bisa menyelesaikan persoalan keluarga dan individu dengan pendekatan norma, adat, dan agama.
“Kalau sekarang tokoh masyarakat yang ada, sudah materialistik. Kalau dibutuhkan pikirannya, wani piro (berapa saya dapat),” katanya.
Sehingga ketokohan di masyarakat, lanjut dia, tidak lagi menjadi teladan dan pemberi solusi untuk mengatasi masalah lingkungan, keluarga, bahkan individu.“Pendangkalan nilai-nilai ketokohan di masayrakat sudah masuk ‘pasar’ dan ada nilai jual. Apalagi musim pilkada, makin mahal nilainya,” ujarnya.