REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan mengatakan pembangunan kehutanan harus ditekankan pada wawasan ekosentris.
Pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata (profit), namun juga memperhatikan aspek lingkungan (planet) dan kesejahteraan (people).
Zulkifli Hasan mengemukakan hal itu pada Orasi Pesona Ta'aruf 2013 dan Penanaman Pohon Mahasiswa Baru di Universitas Islam Islam (UII) Yogyakarta, Selasa (3/9). Paradigma ekosentris diterapkan untuk menggantikan pandangan antroposentris.
Dijelaskan Zulkifli, pandangan antroposentris tidak mempertimbangkan ekosistem lingkungan. Sebab pandangan ini menganggap manusia sebagai pemeran utama di muka bumi kemudian mengeksploitasi lingkungan, sehingga melebihi daya dukung lingkungan dan pada gilirannya merusak ekosistem.
Hutan, kata Zulkifli, memiliki peranan penting sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan setempat, nasional maupun global.
Menyadari pentingnya peranan hutan maka dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dan diperbaiki dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ekosistem hutan, ia melanjutkan, menyediakan berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dan fauna untuk kesinambungan hidup manusia kini dan masa depan.
Interaksi unsur-unsur ekosistem yang membentuk lingkungan yang bersumber dari energi matahari, merupakan proses yang rumit secara kimia, fisika dan biologi untuk memelihara dirinya sendiri (self maintenance).
Dalam fungsi ekosistem hutan ditunjukkan dari laju produksi tumbuhan dalam bentuk penyimpanan stok karbon dan siklus nutrien.
"Apabila hutan tersebut dikonversi, maka keseimbangan ekosistem yang ada akan berubah, sehingga barang dan jasa yang dihasilkannya tidak berkesinambungan/ berkelanjutan," kata Zulkifli.
Berdasarkan riset The Economics of Ecosystems and Biodiversity, hampir 100 juta manusia Indonesia menggantungkan hidupnya kepada jasa lingkungan dan ekosistem, seperti makanan, air dan udara yang bersih, serta barang dan jasa hutan lainnya.
Berdasarkan literatur dan laporan studi antropologi, sosiologi, etnologi dan ekologi telah banyak menjelaskan penggundulan hutan pada akhirnya juga mengancam kebudayaan dan pengetahuan asli mengenai hutan.
Oleh sebab itu upaya konservasi dan perlindungan hutan menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia di tengah modernisasi dan urbanisasi bangsa-bangsa di dunia.
"Upaya penyelamatan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan intinya adalah mengubah paradigma pembangunan dari antroposentris menjadi ekosenstris," kata Zulkifli menegaskan.