REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 30 negara di dunia, menghadiri konferensi antisipasi perubahan iklim yang digelar oleh Lapan dan Badan PBB yang mengurusi keantariksaan United Nations Officer for Outer Space Affairs (UNOOSA), pada 2-4 Septem 2013.
"Semua pakar dari berbagai perwakilan negara datang kesini untuk diskusi dan sharing," ujar Kepala Lapan, Bambang Tejasukmana kepadawa wartawan, Senin (2/9).
Menurut Bambang, UNOOSA bekerja sama dengan Lapan fokus pada kegiatan untuk mengeksplor dan mendiskusikan tentang pemanfaatan teknologi antariksa untuk mitigasi.
Tujuannya, kata dia, untuk melihat berbagai kemungkinan teknologi antariksa dalam mengantisipasi perubahan iklim. Ada dua hal, yang harus dilakukan terkait perubahan iklim tersebut. Yaitu, mitigasi dan adaptasi.
Dijelaskan Bambang, mitigasi dilakukan untuk menghitung karbon dengan penginderaan jarak menghitung luas hutan. Sedangkan adaptasi, untuk menghitung perubahan air laut di pantai. Indonesia. Yaitu, menghitung pulau mana atau laut yang akan tenggelam karena kenaikan air laut.
"Forum ini mempertemukan semua ahli penginderaan jarak jauh. Agar, perubahan iklim bisa diantisipasi sejauh mungkin," katanya.
Bambang mengatakan, daerah yang rawan terimbas perubahan iklim adalah daerah pantai. Padahal, paling banyak masyarakat miskin yang tinggal di pantai dan sekitar sungai.
Jumlah pulau di Indonesia, kata dia, terdiri dari 17 ribu lebuh dengan panjang garis pantai 81 ribu km. Artinya, yang bersentuhan dengan laut sangat panjang. Kalau es kutub utara mencair, maka luas pulau akan berkurang. "Jadi Indonesia sangat terpengaruh perubahan cuaca ini," katanya.
Selain itu, kata Bambang, Indonesia membutuhkan satu alat untuk mengetahui kondisi di negara lain. Jadi, bisa tahu pasti kalau ada perubahan iklim bisa sampai atau tidak ke Indonesia. "Tapi, kita kan belum punya satelit khusus metreologi," katanya.
Menurut Bambang, perubahan iklim pun akan berpengaruh pada ketahanan pangan dan energi. Kekeringan yang panjang, kalau tidak diprediksi maka air danau dan sungai bisa berkurang banyak.
"Pertanian kan, bidang yang sangat sensitif dan bergantung cuaca. Makanya, Kami coba bergabung dengan negara-negara lain untuk membicarakan ini," katanya.
Menurut Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Orbita Roswintiarti, ada satelit yang bisa memantau kekeringan milik Lapan jadi bisa tahu waduk mana saja yang mulai kekeringan.
Yang saat ini harus dipantau dan dikhawatirkan, adalah kenaikan temperatur permukaan laut. Dikhawatirkan, perubahan iklim bisa membuat matinya terumbu karang dan pemutihan. "Kalau pantai terkikis, yang dirugikan masyarakat kecil jadi terus kami pantau," katanya.
Saat ini, kata dia, Indonesia pun sedang mengembangkan carbon sistem untuk melihat perubahan hutan. Yakni, melakukan pemantauan penginderaan jarak jauh secara sistematik. "Program ini, bisa mereduce gas emisi sekitar 26 persen," katanya.
Sementara menurut perwakilan dari UNOOSA, Juan Carlos Villagran, pertemuan ini digelar untuk negosiasi dan mengidentifikasi semua permasalahan terkait perubahan iklim. "Kami berharap, dengan kerja sama ini semua negara bisa siap menghadapi perubahan iklim," katanya.
Selain itu, kata dia, akan dibicarakan juga bagaimana keberlangsungan hidup di masa depan. Pihaknya, ingin memberikan kontribusi pada generasi yang akan datang. "Kalau menyelenggarakan seminar, kami pasti mengundang berbagai negara," katanya.
Menurut Juan, PBB baru pertamakali menggelar seminar untuk perubahan iklim ini. Kota Jakarta, menjadi awal untuk mengatasi perubahan iklim. Fokusnya, untuk mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim.