Jumat 30 Aug 2013 16:52 WIB

Pemda Diminta Perkuat Dewan Pengupahan Daerah

Indonesian Minister of Manpower and Transmigration, Muhaimin Iskandar
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Indonesian Minister of Manpower and Transmigration, Muhaimin Iskandar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar meminta pemerintah daerah (pemda) tingkat Provinisi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia agar memperkuat keberadaan Dewan Pengupahan Daerah secara kelembagaan. Hal ini perlu dilakukan sebagai persiapan menjelang pembahasan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang nantinya akan direkomendasikan kepada Gubernur sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan UMP di wilayahnya.

“Pembahasan penetapan upah minimum tahun depan harus dipersiapankan dengan matang. Oleh karena itu, saya minta agar Pemda benar-benar memperkuat kelembagaan Dewan pengupahan di wilayahnya,” kata Muhaimin di Jakarta, Jumat (30/8).

Muhaimin mengatakan keanggotaan Dewan Pengupahan yang terlibat dalam pembahasan UMP harus tetap memperhatikan keterwakilan keanggotaan unsur pemerintah, Serikat pekerja/Serikat Buruh dan pengusaha yang merupakan merepresentasikan SP/SB  dan pengusaha setempat. Dalam prosesnya, pembahasan UMP/UMK ini  diusulkan oleh Dewan Pengupahan masing-masing daerah yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak ahli/pakar, pengamat dan pihak akademisi,

“Jadi dalam pembahasan UMP/UMK di tingkat dewan pengupahan, semua unsur terkait  harus menyampaikan aspirasi dan keinginannya. Para Pekerja melalui perwakilan Serikat Pekerja dapat menyampaikan usulannya, sebaliknya para pengusaha  dapat menyampaikan usulannya,“ papar Muhaimin.

Menurut data Kemnakertrans, di tingkat Provinsi, seluruh 33 Provinsi telah memiliki Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) sedangkan  dari 492 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, baru tercatat 229 kabupaten/kota yang telah memiliki Depekab/Depeko) sedanghkan sisanya sebanyak 263 belum memiliki dewan pengupahan

Lebih lanjut Muhaimin menuturkan, rekomendasi kenaikan UMP harus berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya, survei dari BPS tersebut diserahkan kepada Dewan Pengupahan untuk dijadikan rekomendasi penetapan UMP.

“Agar survei itu obyektif maka pemerintah meminta survei terhadap besaran komponen Kebutuhan Hidup layak (KHL) itu dilakukan melalui BPS untuk menyesuaikan dengan kondisi yang real. Jadi tidak ada lagi survey versi buruh atau pengusaha lagi," terang Muhaimin.

Muhaimin mengatakan penentuan UMP tersebut harus didasarkan dari beberapa aspek yakni KHL, pertumbuhan ekonomi, inflasi, produktivitas dan kemampuan perusahaan. Selain itu, dia menjelaskan kebijakan kenaikan UMP tersebut tidak memberatkan kepada dunia usaha, sehingga tidak mengakibatkan kebangkrutan dan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement