Jumat 30 Aug 2013 07:32 WIB

Hambatan Sistemik Jadi Biang Keladi Kedelai Mahal

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Djibril Muhammad
 Pekerja mengerjakan pembuatan tahu berbahan kedelai impor di Duren Tiga, Jakarta, Kamis (22/8). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Pekerja mengerjakan pembuatan tahu berbahan kedelai impor di Duren Tiga, Jakarta, Kamis (22/8). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Mahalnya harga kedelai tidak hanya didasari pada ketergantungan impor, yang juga terpukul karena nilai tukar dolar naik. Lebih dari itu, mahalnya kedelai diakibatkan kendala sistemik.

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc, F.Trop, mengatakan mungkin masih ada individu yang berpihak pada produksi dalam negeri.

Namun, tak bisa dipungkiri adanga tarikan kepentingan dalam kebijakan impor yang bergulir saat ini, termasuk impor kedelai. "Jika impor dihentikan, itu jadi ancaman tersendiri untuk pengusaha impor," ungkap Dodik.

Tidak adanya prioritas swasembada juga membuat tidak adanya fokus penanaman komoditas. Prioritas juga perlu disinkronkan dengan ketersediaan lahan. Sehingga, angka impor komoditas jadi lebih realistis.

Kurangnya lahan akibat kurang sinkronya kebijakan lintas sektor juga menghambat pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri. Kebutuhan pangan terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Sementara lahan produktif untuk pertanian juga terus bersaing dengan area permukiman.

Dodik meyakini ada dilema saat lembaga pertanian menerima dana yang tidak bersamaan dengan masa tanam. Tidak menanam, lembaga bisa dikenai proyek fiktif. Menanam pun, kemungkinan gagal karena masa tanam belum tiba.

Contoh lain soal pupuk. Anggaran pengadaan pupuk baru turun setelah masa tanam selesai. Ini tentu menyulitkan petani.

Anggaran harus dilaporkan pada periode tertentu. Padahal, masa tanam tidak selalu berbarengan dengan masa laporan anggaran. "Perlu ada kelenturan untuk hal-hal tertentu dalam pertanian," kata Dodik menegaskan.

Belum ditetapkannya harga dasar kedelai membuat petani kedelai mudah beralih menanam komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, apalagi saat harga kedelai anjlok.

Harga kedelai Rp 7 ribu per kilo di petani dirasa cukup kompetitif dengan harga komoditas lainnya. Sayangnya, harga itu masih kesepakatan pasar dan bukan hasil kebijakan pemerintah.

Saat pasar dalam negeri diguyur kedelai impor, petani jadi 'malas' menanam kedelai. Selain harga anjlok, yang menikmati keuntungan pun bukan petani tapi importir.

Adanya teknologi baru yang dikembangkan lembaga penelitian atau pendidikan, juga terkendala penyuluh. Penyuluh jadi penghubung pengembang teknologi dengan petani agar hambatan sosial-budaya bisa diatasi.

Contohnya teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) yang coba diterapkan di lahan pasang surut. Banyuasin, Palembang menjadi wilayah pertama penerapan BJA di lahan pertanian warga. Awalnya BJA diraguka petani setempat.

"Namun, saat berhasil, petani dari Lampung pun mengikuti metode itu. Petani baru mau menanam setelah didampingi dan ada contoh nyata," ungkap Dodik.

Saat ini jumlah penyuluh pertanian turun drastis sejak wewenangnya dialihkan di bawah pemerintah daerah. Jenjang karir yang tidak jelas membuat orang tidak berminat menjadi penyuluh.

Padahal dulu, saat masih dibawah wewenang Departemen Pertanian, penyuluh pertanian adalah profesi bergengsi. "Saat ini mahasiswa pun kami aktifkan kembali untuk turun mendekat, memberi penjelasan dan memberi contoh langsung kepada para petani," kata Dodik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement